Hati-hati Kasus Alergi Anak Semakin Meningkat!

 

Di tahun 1991 para peneliti pada International Study of Asthma and Allergies in Childhood telah menemukan bahwa angka kejadian kasus eksim dan asma meningkat. Studi-studi selanjutnya, di tahun 2002, 2003 dan belum lama ini, mengungkapkan gejala alergi seperti asma dan lainnya semakin meningkat terutama pada anak kecil.

Meningkat terus. Hal ini tentu menjadi momok bagi mereka yang memiliki riwayat alergi. Bagi anak yang lahir dari ayah dan ibu yang alergi, kemungkinan ia menderita alergi dapat mencapai hampir 80%. “Sebenarnya, apabila seorang anak berisiko alergi secara genetik saja, tanpa ada pencetus, maka gejala alergi tidak akan muncul. Nah, sekarang pencetus alergi dari faktor lingkungan semakin banyak, demikian juga perubahan cara hidup. Ini terjadi di seluruh dunia, termasuk di negera kita,” jelas dr. Zakiudin Munasir, SpA(K).

Bagi mereka yang berisiko tinggi dan memiliki riwayat alergi, kenyataan ini tentu menyebabkan mereka harus bersikap antisipatif dan semakin hati-hati. Sebab, perubahan iklim, cuaca dan kondisi lingkungan terjadi terus-menerus tanpa bisa dihindari. Apa saja faktor-faktor lingkungan yang menjadi pencetus dan harus diwaspadai?

“Ada berbagai zat polutan yang dapat menjadi pencetus. Di udara bisa berupa asap kendaraan bermotor, asap rokok, juga termasuk yang ada di mana-mana pengharum ruangan. Sedangkan, pada bayi dan balita, polutan paling sering masuk lewat saluran cerna, seperti susu sapi, bahan pengawet pada makanan dan lainnya,” lanjut dokter anak yang aktif melakukan penelitian dan mengikuti perkembangan melalui berbagai simporsium ini.  

Alergi sendiri merupakan sebuah penyimpangan imunitas (kekebalan tubuh), bisa berupa hipersensitifitas atau imunitas yang berlebihan. Yang terjadi ketika seseorang terpapar polutan adalah zat polutan merusak barrier atau “benteng pertahanan”. Apabila yang dirusak adalah barrier pada saluran cerna maka polutan yang terhirup menyebabkan asma. Apabila yang dirusak pada saluran cerna misalnya akibat pengawat pada makanan atau minuman maka alergen bisa masuk ke tubuh dan mencetus gejala alergi berupa diare.

Berkat sel-T.
Ada sebuah teori menarik yang ditemukan sejalan dengan penemuan tentang semakin meningkatnya kasus alergi, yaitu di negara yang tingkat infeksinya tinggi, prevalensi (angka kejadian alergi) lebih rendah dibandingkan di negara yang tingkat infeksinya rendah. Tak jarang di negara maju, yang serba bersih dan steril, angka kejadian alergi sangat tinggi.

Apakah sebenarnya yang menyebabkan hal itu terjadi? Apakah hal ini juga menyebabkan penanganan preventif alergi adalah dengan membiarkan infeksi terjadi secara bertahap agar tubuh belajar mempertahankan diri sendiri? Ya! Ini semua berkat sel-T, yaitu sejenis sel yang berperan dalam respons kekebalan tubuh terutama dalam mengenali kehadiran antigen, ‘benda asing’ yang menyusup ke dalam tubuh dan berkemungkinan mengancam.

“Sel T ada dua, yang disebut sebagai sel T-Helper 1 dan 2. Secafra sederhana, sel T-Helper 1 meningkat apabila seseorang terinfeksi. Sedangkan, sel T-Helper 2 apabila seseorang alergi. Apabila seseorang ada dalam kondisi sehat maka kondisinya sel T-Helper 1 dan 2 seimbang. Inilah yang menjelaskan mengapa di negara yang tinggi tingkat infeksinya, kasus alergi lebih rendah,” jelas dr. Zaki.

Ini juga yang menjelaskan studi terbaru lain yang membuktikan bahwa upaya penyeimbangan sel T dengan mengonsumsi DHA-ARA dan probiotik juga efektif mencegah alergi. Tentu takaran probiotik dan perbandingkan antara DHA-ARA yang tepat untuk setiap kelompok usia berbeda dan harus dikonsultasikan dengan dokter.

Mengapa penting mencegah munculnya gejala dan reaksi alergi? Menurut dr. Zaki, tak jarang orang tua luput memperhatikan gejala alergi karena tidak mengerti. Gejala alergi paling awal dan paling sering muncul adalah alergi makanan, berupa diare yang tidak sembuh atau eksim atopi yang tidak sembuh-sembuh. Bukan hanya orang tua, bahkan menurut dr. Zaki, dokter yang kurang waspada sering menyalahkanartikan gejala diare yang tak kunjung sembuh yang disertai perdarahan sebagai gejala disentri.

“Apabila kita tidak mencegah anak kita dari alergi susu, lalu potensi alerginya kita biarkan maka sel T-Helper 2 si kecil akan dominan. Ini artinya,  anak akan mudah dirangsang alergen-alergen lain walaupun bukan susu sapi. Akhirnya, anak menderita alergi tingkatan berikutnya, yaitu alergi hidung dan yang paling akhir juga bersifat mematikan adalah asma,” lanjutnya.

Tentu saja studi lebih lanjut tentang pencegahan dan penanganan alergi secara lebih jauh masih terus dilakukan, termasuk juga upaya perbaikan kondisi lingkungan global yang juga menjadi pencetus alergi. 

 



Artikel Rekomendasi