Kasus Perkelahian Orang Tua

 

Anak-anak diliputi perasan bersalah karena cara berpikir anak masih egosentris, menilai dari sudut pandangnya sendiri. Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri bila orang tua mereka bertengkar.

Kasus:
  1. Suami Riris tak bisa mengendalikan emosi. Menampar, menjambak, menendang Riris kerap dilakukannya di hadapan anak-anak. Stelah peristiwa itu, biasanya si sulung Yasmin (8 th) mengusap wajah dan menghibur ibunya. Bila perlakukan ayahnya sudah kelewatan, Yasmin berteriak membela ibunya, sementara kedua adiknya bersembunyi saling berpelukan.
  2. Sambil uring-uringan mengomeli suami, Retha sering berteriak, “Dasar, laki-laki tak punya otak.” Bermacam hal membuat Retha tak pusa, dan sering memicu pertengkarang dengan suami. Anak-anak sering menyaksikan pertengkaran ini.
Dampak jangka pendek:
  • Anak-anak diliputi perasan bersalah karena cara berpikir anak masih egosentris, menilai dari sudut pandangnya sendiri. Mereka cenderung menyalahkan diri sendiri bila orang tua mereka bertengkar.
  • Anak-anak merasa diri sebagai penyebab setiap kali terjadi pertengkaran orang tuanya.
  • Dampak jangka panjang:
  • Merasa tidak aman.
  • Sulit percaya pada lawan jenis.
Orang tua diharapkan:
  • Minta bantuan psikolog untuk menggali masalah-masalah yang belum terselesaikan antara suami-isteri.
  • Menghindari pertengkaran di depan anak.
Bantuan untuk anak:
  • Jelaskan pada anak bahwa anak-anak bukan penyebab pertengkaran orangtuanya.
  • Bicaralah pada anak sesuai usianya. Jawab pertanyaan anak mengenai kondisi kelaurga dengan tidak menyertakan emosi, jangan menjelekkan pasangan, walaupun mungkin sudah memutuskan untuk bercerai.
  • Minta maaf pada anak kalau ia menjadi takut dan cemas dengan pengalaman melihat pertengkaran orangtuanya. Tegaskan bahwa walaupun kedua orangtua bertengkar atau berpisah tetapi mereka tetap mencintai anak.
  • Tetap memiliki pola asuh yang sama walau berpisah, sehingga anak tidak bingung dengan adanya aturan yang berbeda.
Baca juga:
 
 

 



Artikel Rekomendasi