Cintai Dia Tanpa Syarat

 






















Saat pertama kali mengetahui anaknya autis, umumnya orang tua shock. Rasa kecewa yang begitu mendalam, dan berusaha menyangkal. Berkeliling dari satu dokter ke dokter lain atau psikolog untuk mencari-cari diagnosa yang berbeda. Fase ini dinamakan denial, penyangkalan. Jika fase ini terlalu panjang, dapat mengganggu karena anak perlu penanganan segera.

Setelah denial, orang tua masuk ke fase yang memiliki banyak emosi negatif seperti marah, sedih dan kecewa karena diberi anak autis. Bahkan, mungkin mereka marah pada Tuhan karena merasa memiliki anak yang tidak sempurna seperti yang diharapkan. Ada juga yang kemarahannya dengan mengingat, "Oh mungkin ini gara-gara waktu hamil saya begini-begitu."

Namun, dengan berjalannya waktu, saat mereka bicara dengan profesional dan bertemu orang tua lain, secara bertahap, sedikit demi sedikit, orang tua bisa menerima. Berapa lama sampai orang tua masuk pada fase ini berbeda-beda.

Hal pertama yang membantu proses penerimaan ini adalah informasi autis yang kini begitu mudah didapat, tidak seperti lima tahun lalu. Begitu pula keluarga besar. Kalau keluarga besar tidak bisa menerima, biasanya orang tua saling menyalahkan.

Pasangan juga menentukan faktor penerimaan. Biasanya, ibu yang mengurus dan mengantar anak ke sana-sini. Kalau suami mendukung, lebih mudah bagi istri untuk masuk ke fase penerimaan.

Selain itu, kepribadian seseorang juga berperan. Ada orang tua yang cukup cepat bertindak karena berpikir, "Ini memang cobaan. Saya dititipi Allah. Ya sudah diterima saja". Tapi ada juga yang bersikap sebaliknya, terus menerus menyangkal. Walaupun dia bilang, "Oh iya anakku autis." Tapi orang tua tetap memaksa anak masuk sekolah umum. Jadi, kadang-kadang denial juga terselubung, tidak kelihatan.

Banyaknya biaya terapi kerap memberi tekanan tersendiri bagi orang tua anak autis. Padahal, selain masalah finansial, gejala autis juga cukup membuat orang tua stres. Seperti, sulitnya merangkul anak secara emosional, sulitnya berkomunikasi, dan juga interaksi sering membuat orang tua berbicara pada anak namun anak tak mengerti, dan sebaliknya. Akhirnya keduanya frustrasi.

Dampak dari kesulitan komunikasi ini membuat anak sulit masuk sekolah dan bersosialisasi. Masalah bertumpuk, belum lagi perbedaan pendapat dengan pasangan mengenai penanganan anak. Ini membuat hubungan dengan pasangan buruk. Keadaan ini umumnya terjadi pada fase-fase awal.

Mengingat penanganan anak autis harus segera dan intensif, efektivitas orang tua dalam menangani stres membantu mengembangkan anak secara optimal. Dukungan sesama orang tua anak autis yang biasanya ditemui di tempat terapi juga membantu, dari mulai sharing hingga membentuk parents support group.

Memandang ini semua sebagai cobaan hidup yang harus diterima pun, patut dilakukan. Biasanya dengan cara itu orang tua akan lebih mudah melihat sisi positif. Yang terlihat sepele tapi penting adalah tetap meluangkan waktu untuk diri sendiri. Perhatikan diri sendiri supaya bisa memberikan yang terbaik untuk anak.

Satu hal yang kadang memberikan kelegaan tersendiri bagi orang tua anak autis, di balik kekurangannya anak autis seringkali memiliki kemampuan-kemampuan menonjol seperti matematika dan segala sesuatu yang berhubungan dengan visual-spasial. Kemampuan ini sedikit banyak dapat meringankan stres orang tua.

Baca juga:
Mengasuh anak autis
Tips Menangani Anak Autis
Faktor Genetis Biang Autis?

 

 



Artikel Rekomendasi