Merespon Sikap Egois Balita

 

Sehari-hari Anda mungkin kerap mendengar anak mengatakan, “Aku ingin jalan-jalan ke Bali seperti temanku…” atau “Aku ingin seperti Super Man”.  Pokoknya, apapun yang ia lihat dari temannya, tertarik untuk memiliki atau meniru. Rentang usia 2-6 tahun, menurut Jean Piaget, psikolog perkembangan asal Swiss, masih dalam tahap egosentris. Anak masih melihat segala sesuatu dari kacamata dirinya dan belum mampu melihat dari sudut pandang orang lain.

Namun, sikap merasa semua “milik aku” ini, menurut Erik Erikson, psikolog perkembangan kepribadian, memang diperlukan oleh anak untuk  kemudian belajar memahami konsep “melepaskan rasa kepemilikan yang kuat” (letting go) serta konsep berbagi dengan orang lain (sharing).

Didasarkan itulah, anak akan merasa diperlakukan “adil” saat ia mendapatkan  sesuatu seperti yang dia inginkan. Sebab, pada tahap egosentris ini, fokusnya  adalah dirinya dan bukan dari sudut pandang kepentingan orang lain. Untuk mengembangkan cara anak melihat segala sesuatu, Anda dapat melakukannya secara perlahan dan bertahap. Inilah beberapa  pernyataan yang kerap dilontarkan anak saat ia ingin diperlakukan “adil”dan cara menjawabnya.

 “Aku mau jadi Ronaldo!”
Pernyataan ini muncul karena dia melihat sosok yang lebih baik dari kondisi dia sekarang. Anda dapat menjawab pernyataannya dengan merangsang dia meningkatkan kemampuan yang sudah dicapainya. Misalnya  dengan mengatakan bahwa dia harus lebih rajin lagi berlatih main bola bersama ayah, kakak  atau temannya, supaya bisa menjadi pemain sepak bola hebat seperti Ronaldo atau sosok idola lainnya. Tanggapan Anda untuk mengajaknya lebih giat berlatih ini, akan bermanfaat juga untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar, koordinasi gerakan kaki dan mata, dan stamina tubuhnya.

“Aku mau kue itu!”
Ucapan itu biasa terucap saat  ia melihat bekal temannya kue, sementara bekalnya buah potong. Sikap anak yang ingin bekal yang berlebihan, sebaiknya tidak melarang anak melainkan Anda dapat menjadikannya ke arah yang lebih positif. Contohnya, katakan kepada anak, kalau besok dia dapat membuat kue untuk bekalnya bersama  dengan Anda. Bahkan, dia bisa membuatnya yang lebih bagus dan enak. Tanggapan seperti ini justru akan merangsang sikap otonomi pada dirinya.

“Aku mau pinsil warna yang banyaaak…”
Ini mungkin dilontarkan saat melihat temannya punya pinsil warna ebih lengkap warnanya. Anda dapat mengatakan kepada anak, kalau dia ingin punya pinsil warna yang banyak, maka pinsil warna yang sudah dia miliki, harus disimpan dengan baik sehingga tidak banyak yang hilang. Kalau dia sudah dapat merawat dan menyimpan pinsil warnanya dengan baik, dia baru akan dibelikan lagi. Atau bandingkan dengan temannya yang lebih besar dan pandai menggambar bagus walaupun jumlah pinsil warnanya lebih sedikit.

“Aku masih mau nonton TV!”

Ini biasanya  ia katakan saat  melihat orang lain masih boleh melanjutkan menonton TV sementara dia sudah harus tidur. Kadangkala anak memang tidak akan mau terima begitu saja ketika dia disuruh tidur lebih cepat dibandingkan yang lain. Anda dapat mengarang cerita, tentang sosok idola si kecil, yang selalu tidur cepat. Misalnya,  bila idola si kecil adalah penyanyi cilik, Anda dapat mengatakan jika ia tidur cepat supaya bisa bangun pagi dan berenang. Karena berenang bisa membuat napas  panjang sehingga dapat bernyanyi dengan bagus. Jika idolanya seorang atlet, Anda dapat mengatakan, atlet  tidur cepat supaya bisa bangun pagi dan berlatuh olahraga.

“Aku mau uang jajan…”
Anggapan bahwa anak kecil tidak boleh memegang uang tentu saja tidak tepat,  karena dalam realita hidup, kita perlu punya uang. Maka, Anda bisa  mengajarkan ini padanya secara bertahap. Misalnya, beri ia kesempatan  memegang uang saat berada di swalayan  dengan jumlah tertentu. Katakan, bahwa uang ini bisa untuk membeli   benda yang ia sukai. Dengan begitu,  Anda bisa memberinya tanggung-jawab sekaligus mengenalkannya pada uang.

KONSULTASI: TIA RAHMANIA, SPsi, MPsi., PSIKOLOG ANAK, DI KLINIK “KANCIL”, JAKARTA.

 



Artikel Rekomendasi