Belajar di Kampung Halaman

 

Saat mudik, tentu banyak hal yang bisa anak pelajari di kampung halamannya. Simak pengalaman bunda Bebby Astrika saat mudik bersama anaknya, Dhia.

Sawah

Saat melintasi hamparan pesawahan, Dhia menunjuk ke luar.  “Itu namanya sawah tempat padi yang berwarna hijau ditanam. Nasi berasal dari padi, kemudian menjadi beras, dan dimasak menjadi nasi yang kita makan,” jelasku sambil  menunjukkan paket nasi dan lauk pauk yang kubeli sebelum berangkat. Bergantian matanya menatap nasi dan sawah di luar sana. “Itu tanaman nasi,” simpulnya. Aku senang, ia mulai memahami rantai makanan! Di desa nanti aku akan mengajaknya ke sawah agar ia bisa memegang, melihat perubahan warna padi dari hijau ke kuning yang siap panen dan ia bisa memegangnya.    

Gunung
“Apakah, itu?” tanya saya  sambil menunjuk  jajaran pegunungan, nun jauh di luar sana. Sambil melonjak Dhia menjawab, “Gunung…” Oh, ya, sejak lama saya sudah mengenalkan gunung lewat gambar di buku dan di flascard. Saya senang,  ia bisa  mengasosiasikan apa yang  dilihat di gambar dengan kenyataan.   “Apa warnanya?” tanyaku. “Biru,” jawabnya. Tidak, salah! Dari jauh warna gunung memang biru. Tanpa disuruh ia pun menyanyi;  naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali, kiri kanan, kulihat saja, banyak pohon papaya…”  Ia, selalu memilih pohon pepaya ketimbang pohon cemara.  Ya, sudahlah…

Kerbau
Dhia menempelkan wajahnya ke kaca  jendela saat melihat seekor kerbau sedang makan rumput hijau di lapangan. “Sapi,” teriaknya.  Saya memang pernah mengajaknya melihat sapi di peternakan sapi. “Itu namanya kerbau. Hewan itu mirip sapi. Punya kaki empat dan makan rumput juga. Tapi kerbau punya tanduk di kepalanya, ” cerita saya  sambil memeragakan bentuk tanduk di kepalaku. “Itu kerbau,” kata Dhia akhirnya  sambil menunjuk ke luar. Di kampung nanti, aku berharap Dhia bisa memegang kerbau jinak yang sedang digembala. Itu tentu akan menjadi pengalaman unik yang tak terlupakan olehnya.

Pohon Pisang

“Dhia, itu pohon pisang!”  Saya  bersemangat sekali memperlihatkan jajaran pohon pisang di kebun, yang di antaranya ada yang sedang berbuah. Saya  tidak tahu kalau saat itu Dhia sedang terkantuk-kantuk. Ia pun melonjak kaget, namun kembali meneruskan kantuknya. Saya baru memberinya penjelasan tentang pohon pisang dan buahnya yang hijau pertanda masih mentah, ketika 1 jam kemudian ia bangun dan kereta kembali melewati kebun pisang.  Dhia biasa makan buah pisang, pisang goreng atau pisang bakar bertabur keju. Ia kini tahu bahwa pohon pisang itu berbeda dengan pohon mangga yang tumbuh di depan rumah tetangga.

Melintasi kali
Kereta api melintasi sebuah kali. Dinding jembatannya yang melengkung tampak jelas  di jendela. Dhia melongok ke bawah jendela dan berkata, “Air…” Kujelaskan bahwa kereta sedang melewati jembatan di atas sebuah sungai. “Ayo, ada apa di sungai?” tanya ayahnya. “Ada ikan,” jawab Dhia. Kami memang biasa menceritakan tentang  hewan yang hidup di darat dan di air.  Lalu, ayahnya menceritakan bahwa air sungai bisa untuk minum padi dan tanaman pisang. Di tengah cerita, tiba-tiba ia berkata, “Dhia mau minum…”

Naik becak
Dhia terbengong-bengong ketika kami naik becak dari stasiun Pemalang menuju tempat berkumpul keluarga besar yang akan bersama-sama melanjutkan perjalanan ke Semarang. “Ini namanya becak, nak,”  kataku.  Kujelaskan,  becak memiliki roda 3 dan dikayuh seperti sepeda agar bisa berjalan. Selanjutnya, ia tampak menikmati perjalanan melewati persimpangan jalan dan lampu merah,  alun-alun kota dan ia kaget ketika mendengar ‘kalson’ becak yang berupa  rangkaian besi beradu jika ditarik.Sebuah pengalaman menarik untuk Dhia dan nostalgia untuk saya, yang saat kecil suka naik becak. Sementara di Jakarta becak, kan, sudah langka.

 



Artikel Rekomendasi