4 Rasa Takut Balita

 

Fotosearch

“Hiii ompong, jeleeeek!” Danila (4) selalu bereaksi demikian setiap menatap bayangan wajahnya tersenyum memperlihatkan gigi di cermin.
“Kata siapa kamu jelek? Gigimu ompong, kan, cuma sementara. Nanti juga tumbuh gigi baru, “ hibur bundanya.

Selain ompong, kondisi fisik yang dianggap kurang cantik atau kurang ganteng oleh anak-anak umumnya adalah tubuh gemuk, kulit gelap atau rambut keriting.   
Menurut Ratih Ibrahim, kesadaran penampilan pada anak umumnya terjadi pada rentang usia 2,5 hingga 3,5 tahun, seiring dengan semakin meningkatnya kelihaian berjalan dan berbicara anak. Di rentang usia itu, biasanya anak mulai keluar dari ‘cangkang’ egosentrismenya untuk membentuk diri menurut apa yang telah mereka pahami.

Dalam hal penampilan, pemahaman yang didapat anak dari hal-hal sederhana di rumah, misalnya dari iklan di televisi yang menampilkan anak-anak berpenampilan menarik, atau komentar keluarga bernada pujian terhadap penampilan seseorang - misalnya gaya berbusana atau tatanan rambut- akan membentuk persepsi anak tentang konsep “cantik” dan “jelek”.

Konsep ini akan menguat ketika anak mulai berinteraksi dengan teman sebaya, baik di lingkungan rumah maupun di preschool.  Stimulus perihal penampilan yang didapat dari rumah,  bisa berbeda dengan yang didapat dari teman-temannya. Terlebih anak usia ini juga mulai suka bermain berkelompok.  Jika menurut kelompoknya, yang cantik itu  rambut yang panjang lurus –apalagi bila dijepit dengan hairpin Frozen!- maka bisa jadi anak akan menganggap rambut keriting kriwil-nya  itu jelek. Bila teman-temannya memiliki barisan gigi susu yang rapi dan  (masih) lengkap, bisa jadi anak yang bergigi ompong, apalagi gripis kecoklatan, merasa senyumnya tak cemerlang.
Yang merugikan adalah, bila ketidaksesuaian antara penampilan anak dengan harapan sosialnya,  sampai-sampai membuat anak tidak percaya diri, atau minder karena merasa dirinya jelek. Pada saat itulah bantuan orangtua dibutuhkan untuk memberi pemahaman yang tepat kepada si kecil tentang konsep “cantik” dan “jelek” sebenarnya, serta  mengembalikan kepercayaan diri anak yang terluka hanya gara-gara dirinya tak memenuhi “standar” penampilan yang diharapkan lingkungan.

A.    Takut Gemuk
Banyak anak balita menyadari dirinya gemuk, kemudian tiba-tiba merasa jelek sehingga takut atau malu gemuk, ketika ia dicela oleh teman-temannya, misalnya dipanggil dengan nada ejekan “Ndut”, “Gajah” atau lainnya.

Bantu ia dengan …
- Meluruskan bahwa gemuk juga bisa cantik dan menarik. Hal yang kurang baik dari kegemukan adalah gangguan kesehatan dan kurang fit, misalnya anak jadi tidak kuat berlari, mudah ngos-ngosan ketika bersepeda, dan orang yang gemuk lebih mudah terkena penyakit jantung dan diabetes.
- Menjadikan celaan sebagai motivasi untuk mengurangi berat badan hingga mendekati normal. Prosesnya harus fun, berulang-ulang dan disertai kesabaran, misalnya diawali dengan bercerita tentang bermacam faktor yang bisa menyebabkan seseorang jadi gemuk. Supaya ia lebih mudah memahami, bantu ia mengulas kegiatan sehari-harinya, bagaimana pola makannya yang kurang teratur atau kegemarannya terhadap makanan lezat yang berlemak bisa membuat tubuhnya menggemuk. Katakan bahwa ia boleh menyantap makanan favoritnya, namun harus disertai makan sayur dan buah-buahan agar tubuhnya sehat dan kuat.
- Mengajaknya melakukan aktivitas fisik, misalnya bermain lempar-tangkap bola, berlari dan sebagainya. Di sela aktivitas itu Anda dapat menumbuhkan kepercayaan dirinya dengan berkata, “Walaupun gemuk, ternyata gerakanmu lincah! Supaya semakin lincah, latihannya harus rutin, ya.” Pemenuhan asupan nutrisi seimbang, pola makan, aktivitas fisik dan istirahat yang cukup, adalah bekal yang baik agar anak tumbuh sehat dan aktif.
- Dari ejekan ini, ajarkan anak tentang perilaku “bully”. Katakan, teman-teman yang mengejek itu artinya mem-bully,  sebab  kondisi fisik seseorang tidak boleh dijadikan bahan ledekan dengan alasan apa pun. Bully adalah perilaku salah dan musti distop. Di bawah pengawasan Anda, mintalah anak melaporkan perbuatan temannya kepada guru.
    
B.    Takut Ompong
Dulu Danila senang difoto ekspresi tersenyum bersama besties-nya di preschool. Tapi ketika menyadari gigi depannya ompong gripis, sementara Kathy dan Alisha giginya bagus, ia jadi minder.  “Gigiku kapan tumbuhnya, Bu?” cecarnya hampir  setiap hari. Sekarang ia selalu menutup mulut kalau difoto.

Bantu ia dengan …
- Jangan membenarkan kondisi gisinya yang rusak, sebab itu terjadi akibat perawatan gigi yang keliru.  Kurang tepat bila Anda mengatakan “Ompong tetap cantik.” Lebih tepat, “Untung ompongmu hanya sementara, karena masih gigi susu”.
- Bantu ia memahami pentingnya menjaga kebersihan gusi dan gigi agar kelak gigi tetapnya terawat baik. Jelaskan, “Nanti gigi tetapmu akan tumbuh. Tapi kalau tidak dirawat, bisa rusak lagi, lho.” Jelaskan bahwa gigi rusak, berlubang dan ompong bisa disebabkan oleh kebiasaan makan makanan manis tapi malas gosok gigi. Dorong ia memulai kebiasaan yang tepat, misalnya sikat gigi setelah makan dan sebelum tidur, dan kumur air putih sehabis makan manis. Melakukannya bersama Anda akan menyenangkan, dan ia pun akan menganggap aktivitas ini penting.
- Jadikan peluang untuk membujuknya pergi ke dokter gigi. Jelaskan dokter gigi akan membantu giginya tumbuh sehat. Selain itu suasana di klinik menyenangkan, dan sebagainya.

C.    Takut Hitam
Di Indonesia, orang berkulit kulit putih kerap dianggap lebih menarik dan dipandang berstatus sosial lebih tinggi daripada orang berkulit  gelap. Itu karena, secara historis pada zaman kolonial kulit gelap diasosiasikan sebagai inlandeer, masyarakat yang bekerja sebagai buruh atau di luar ruangan.  Akhirnya sampai sekarang, masih ada anak merasa malu dan rendah diri kalau kulitnya hitam. Pujian “hitam manis” tidak banyak menolong.

Bantu ia dengan…
- Jelaskan padanya Anda selalu mencintainya apa adanya. Besarkan pula hatinya dengan mengatakan hal bagus yang ia miliki, misal kelucuan dan kehebatannya bermain bola.
- Bekali anak dengan kemampuan bersosialisasi yang baik, tak peduli dirinya gemuk, pendek, berambut ikal atau berkulit hitam sekali pun. Salah satu caranya adalah, hindari melarang si kecil bermain dengan teman-temannya yang menurut Anda jorok, kumal, atau lain sebagainya. Karena, pengkondisian seperti itu justeru menghambat keterampilan sosialisasinya. Akan ada pertanyaan dalam diri anak mengapa harus seperti itu, padahal bagi semua anak, bisa bermain dengan teman-temannya itu asyik dan seru.
- Ajak ia mengembangkan kepercayaan diri dengan melatih kosakatanya, sehingga kelak ia memiliki keberanian untuk berekspresi dan berbicara di depan umum, tanpa perlu khawatir dengan ejekan warna kulit.

D.    Takut Punya Bekas Luka
Alisha (3,5) selalu menangis histeris setiap kali jatuh. Pertanyaannya di sela-sela tangisan sama, “Berdarah enggak? Bisa hilang enggak (maksudnya bekas lukanya)?”. Ya, ternyata dia takut memiliki luka yang berbekas. Mungkin itu karena Alisha memang gadis cilik berkulit mulus yang sejak umur 3 tahun senang berdandan dan mengoles body lotion di kulitnya. Katanya Ia ingin secantik Barbie!

Bantu ia dengan…
- Minta ia menjelaskan alasan mengapa takut luka dan memiliki bekas luka. Jika jawabannya takut jelek, kuatkan dirinya, “Tak apa-apa memiliki luka, yang penting adik sudah berani mencoba. Bunda senang banget sama usaha kamu, lho!”
- Berikan pengertian bahwa jatuh, luka dan memiliki bekas luka adalah bagian dari proses menjadi anak yang hebat. Mungkin Anda bisa mengingatkan bagaimana ia berusaha untuk bisa menguasai laju sepeda kesayangannya kala itu. Walau sempat terjatuh, tapi akhirnya ia bisa menguasainya.
- Katakan dan perlihatkan semua orang pasti punya bekas luka, misalnya Anda punya luka bekas terkena knalpot panas di betis.
- Jangan menanamkan ide berlebihan pada anak –khususnya anak perempuan- untuk memiliki kulit mulus tanpa noda, sampai-sampai ia khawatir berlebihan kulitnya tidak mulus. Memang menjaga kebersihan dan kesehatan kulit itu penting, tapi dalam batas sewajarnya dan tidak sampai menghambat peluang anak belajar dan bertumbuh kembang.

KONSULTASI Dra. RATIH IBRAHIM, Psi., MM., dari PERSONAL GROWTH, JAKARTA
(YUDISTIRA A. NUGROHO/ERN)

 



Artikel Rekomendasi