Menghukum Balita, Bolehkah?

 


Siang itu seharusnya menjadi hari libur yang indah. Anda sedang menyiapkan makanan dan membersihkan dapur. Sementara, suami menjaga si kecil. Anda berharap suami melakukan kegiatan yang seru bersama anak laki-lakinya. Namun, tak beberapa lama terdengar jeritan tangis si kecil. Anda berlari dari dapur dan menemukan si kecil menangis ketakutan di sudut kamar.
 
Selanjutnya, Anda bertanya pada anak apa yang terjadi. Suami menyahut, mengatakan baru saja menjewer dan menyentil telinganya bolak-balik. Wajah suami terlihat sangat kesal. Anda pun bertanya kesalahan apa yang sudah dibuat si kecil.
 
“Dia menginjak betisku. Aku, kan, lagi tiduran,” ujar suami, ringan.
Kali ini gantian Anda yang sebal. Namun, tentu saja Anda menahan diri. Anda lebih memilih mengajak si kecil bermain di luar rumah, agar ia lupa pada kejadian yang baru saja membuat hatinya terluka.
 
Malam harinya, ketika si kecil sudah tidur, Anda membahas soal hukuman anak dengan suami. Ia bersikukuh anak harus dididik dengan keras agar anak kapok. Benarkah menghukum anak secara fisik bisa membuatnya patuh dan jera?
 
Dalam sebuah acara Mom Blogger Gathering bertajuk “Raising Children in The Digital Era”  di Singapore Intercultural School, Jakarta Selatan, akhir Agustus lalu, Psikolog Elizabeth Santosa mengatakan, “Anak tidak boleh dihukum fisik. Saya juga tidak setuju dengan istilah ‘menghukum’ anak. Kalau anak berbuat salah, berilah ‘kegiatan’ yang membuat ia belajar hal baru, bukan dengan menyakiti anggota tubuhnya. Ketika anak saya (usia SD) pernah berbuat salah, saya memintanya membersihkan toilet di apartemen kami. Mungkin bagi orang lain hal itu cukup kejam, tapi anak saya belajar hal baru.”
 
Memberikan hukuman fisik pada anak terutama usia balita tidak akan membuatnya jera, malah berdampak pada ketidakseimbangan emosinya. Bahkan, ia akan menjadi pembangkang. Yang mengerikan, si kecil akan belajar menggunakan kekuatan fisik tiap kali menyelesaikan sebuah konflik. Dan, bukan tak mungkin suatu kali Anda mencubitnya, si kecil malah balas memukul  Anda.
 

Bagaimana seharusnya 'menghukum' balita?

Ubah istilah 'menghukum' dengan denggan kata 'mendisiplinkan'. Dengan mendisiplinkan, Anda dan si kecil sama-sama mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sehingga, ia tahu bagaimana harus bersikap saat di rumah, di sekolah, atau di tempat umum.
 
Ketika si kecil memukul, mendorong, atau mengganggu teman-temannya, jangan memarahi dengan membentak atau menggunakan kekerasan fisik (sentil, pukul, cubit). Ajar anak meminta maaf pada temannya, lalu jelaskan padanya kalau tangan berfungsi untuk melakukan hal baik.
 
Ketika si kecil menumpahkan minuman di restoran atau memecahkan gelas di supermarket, ajar ia menebus kesalahannya dengan membersihkan air yang tumpah. Serta terangkan agar lain kali ia harus lebih berhati-hati, karena tumpahan air atau pecahan gelas bisa membahayakan dirinya dan orang lain: terpeleset atau melukai tubuh jika terinjak.
 
Ketika si kecil berperilaku agresif untuk mencari perhatian orang di sekitarnya, beritahu jika perilakunya bisa mengganggu orang lain. Tanyakan apa yang diinginkan si kecil. Jika ia merasa diabaikan, jangan ragu untuk meminta maaf. “Maaf, ya, Nak, tadi Bunda tidak mendengarkan kamu. Tadi kamu ingin bermain lego, ya?”
 

Dampak kekerasan terhadap anak

Kekerasan terhadap anak dapat berbentuk:
  1. Fisik; memukul, mencubit, menendang, menjewer, menarik rambut.
  2. Verbal; berteriak, membentak, dan mengancam.
  3. Pengabaian; sakit dibiarkan, tidak dipenuhi kebutuhannya, tidak ditegur saat melakukan kesalahan, tidak dipuji saat melakukan hal baik. Termasuk menghukum dengan mengambil hak bermain anak.
  4. Seksual; perkosaan, diraba-raba.
 
Hampir semua riset tentang dampak kekerasan terhadap anak menyebut, kekerasan apapun bentuknya dapat menipiskan myelin –lapisan pada syaraf otak. Fungsi myelin adalah meningkatkan koneksi antar sel otak yang memungkinkan seseorang berpikir dengan baik.
 
Semakin tebal myelin, koneksi antar sel otak semakin kuat sehingga meningkatkan aktifitas kognitif. Tetapi kekerasan terhadap anak akan menipiskan myelin sehingga anak yang mengalami kekerasan akan mengalami kesulitan belajar, rentan stres di masa dewasa, dan mengalami trauma.
 
Melakukan kekerasan terhadap anak dengan tujuan mendisplin sangat tidak dibenarkan. Sayangnya, inilah yang masih sering terjadi di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Saat mendisiplin anak, orang tua perlu ekstra hati-hati karena anak berada dalam masa aktif bereksplorasi, belum paham tentang benar dan salah, baik dan buruk. Kekerasan, apa pun bentuknya, tidak dibenarkan untuk diterapkan kepada anak.
 

Maria Soraya Az Zahra/Imma
 

 



Artikel Rekomendasi

post4

Hadiah Lebih Baik Dari Hukuman

Hadiah dan hukuman menjadi salah satu cara mengajarkan anak tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Namun anak menangkap reward lebih baik daripada hukuman. ... read more