Bukan Cengeng, Ini Penyebab Balita Menangis

 

Fotosearch
Anak usia 3-4 tahun umumnya masih kerap menangis untuk mengekspresikan keinginan. Meski tangisan anak balita tidak bisa dipahami secara general, namun tetap bisa diatasi dengan dasar pemahaman terhadap perilaku balita.  Pada usia 0 hingga 2 tahun, anak menangis karena mengantuk, lelah, lapar, kotor hingga merasa tidak nyaman. Tapi menginjak usia 3-4 tahun, anak memiliki pertambahan kemampuan kognitif dan verbal yang membuatnya menangis dengan lebih banyak alasan. Diantaranya, menangis karena sakit, lelah, lapar, ingin sesuatu, mengantuk, tidak nyaman, merasa ditertawakan, mencari perhatian, takut, kecewa, marah, hingga frustasi.  Bertambahnya keahlian ini bertujuan agar anak memiliki kemampuan mengendalikan emosi di tahap usia selanjutnya.

Menangis karena masalah fisik
Tangis anak dapat dipicu oleh masalah fisik seperti sakit, lapar, mengantuk, atau bosan. Jika anak menangis di jam tertentu biasa dia makan, dan setelah diberi makanan ia diam, artinya ia lapar dan sebaiknya orangtua memerhatikan jam-jam atau jadwal makan anak.  Jika anak menangis lalu saat diajak ke kamar dan dibaringkan kemudian tenang, ini berarti ia menangis karena mengantuk. Sebaiknya perhatikan jadwal tidur anak di siang dan malam hari sebelum tangisnya pecah. Atau saat anak menangis di luar sebab-sebab lapar dan mengantuk, lalu diputarkan film kartun kesukaannya dan ia  diam, artinya anak merasa bosan. Begitu pula saat sakit, anak biasanya lebih banyak menangis ketimbang saat sehat, karena merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Tentunya, anak yang sakit diawali dengan gejala penyakit seperti demam, pilek, dan sebagainya.  
Mengetahui masalah fisik penyebab anak menangis, memerlukan kedekatan dan perhatian orangtua akan kebiasaan anak.  

Menangis karena frustasi
Tak selalu mudah memahami tangis balita. Jika tak paham dan ditangani secara tepat, tangis anak akan menjadi berkepanjangan bahkan disertai beberapa aksi seperti menendang-nendang, membenturkan kepala ke lantai atau tembok, bahkan membanting barang-barang. Ini berarti ada masalah kegagalan atau ketidakmampuan anak dalam mengendalikan emosi. Jika sudah berkembang seperti ini, dikatakan anak frustasi.
Menurut edukator orangtua dari Amerika Serikat, Jenny Emmerson, frustasi adalah hal yang wajar pada balita. Termasuk ketika ia merasa tak nyaman dengan orang atau tempat baru. Kasus tangis frustasi berulang karena anak gagal mengendalikan emosi ini berpotensi menjadi tantrum atau mengamuk. Pendeknya, jika usia 0 – 2 tahun anak frustrasi, lalu usia 3-4 tahun juga frustrasi, maka di usia 5 tahun anak dapat menjadi tantrum.   Marah dan menghukumnya tidak akan membantu. Justru dengan menunjukkan empati, memeluk, menyentuh, berbicara dan melakukan kontak mata akan menenangkannya.

Menangis manipulatif
Anak kerap melakukan tangisan ‘trial and error’ pada orangtua. Saat tak berhasil mendapatkan keinginannya, anak menangis dengan harapan dengan dibantu tangisan yang memancing rasa iba, permintaannnya akan dikabulkan.
Jika tangisannya selalu berhasil membuat orangtua datang, atau menuruti keinginan anak, atau membuat ayah bunda panik, maka anak akan memilih untuk menangis terus dan mengulangnya di lain waktu. Inilah yang disebut tangisan senjata atau manipulatif.  Beberapa cirinya antara lain suaranya melengking, menangis sembari berguling-guling, sembari menahan napas, sambil menghentak-hentakkan kaki, mengantukkan kepala ke tembok atau lantai, membanting barang, menarik-narik, dan menendang-nendang, disertai upaya anak mencuri pandang ke arah orangtua guna mengetahui respon orangtua. Ciri ini dapat muncul beberapa sekaligus.
Saat orangtua tak mampu mengatasi atau kurang keahlian mengelola tangis manipulatif si kecil pada usia 0 – 2 tahun, maka akan membentuk reaksi tangis manipulatif berulang pada usia 3 hingga 5 tahun.

Menangis karena takut
Anak dapat menangis karena merasa sangat takut, cemas, dan terancam. Salah satu yang kerap terjadi adalah kekerasan fisik. Jika anak menangis saat menginginkan sesuatu, lalu bunda mencubit untuk menghentikan tangisnya, ini justeru membuat  anak menangis ketakutan. Anak akan menangis lebih panjang dan tidak efektif membuatnya mampu mengendalikan perasaan.
Lebih baik berikan ia elusan dan kasih sayang. Dan katakan jika bunda menyayangi si kecil.  Atau, katakan lembut “Bunda tidak mengerti apa yang kamu inginkan. Kasih tahu bunda, ya, kamu maunya apa?” sembari membantu anak dengan menggambar sesuatu, menyebutkan beberapa benda, atau mencontohkan sebuah aktivitas.

Menangis drama
Beberapa anak kerap menangis untuk menarik perhatian orang di sekitarnya, misal ketika ia menangis saat di rumah kerabat, di pusat perbelanjaan, atau saat bertamu di rumah orang. Bisa jadi, ini adalah hal yang telah dipelajari anak sebelumnya, atau sedang dicoba untuk mendapatkan keinginan dan kerap disebut menangis drama.   Menurut pengamat anak dan penulis buku Don’t Give Me That Attitude, Michele Borba, Ed.D., ciri anak suka menangis dramatis adalah anak yang kerap bereaksi berlebih kendati hanya mengalami sedikit kekecewaan atau sedikit penolakan permintaan. Hanya sedikit penyebab, anak rentan mengeluarkan air mata ataupun ledakan emosi. Anak drama queen ini biasanya penuh emosi dan tak ragu mengeluarkan perasaan, namun sebenarnya sandiwaranya dapat diprediksi. Sebelum ke babak ‘menangis drama’, biasanya akan terlihat sedikit perubahan sikap anak akan memulai menangis.
Menghadapinya, orangtua perlu memberi tanda atau bicara jika perilakunya sudah melewati batas. Tak berhasil, tinggalkan ruangan dan tunggu hingga ‘drama’ berakhir. Lalu, ajak anak bicara dengan tenang soal apa yang mengganggunya. Lama kelamaan anak akan belajar mengelola kepribadiannya dengan baik.

Konsultasi: A. Kasandra Putranto, Biro Konsultasi Psikologi Kasandra and Associates, Jakarta

(LAD/ERN)

 



Artikel Rekomendasi