Serba-serbi Keluarga

 


Ayah, ibu dan (maksimal) dua anak tinggal di dalam satu rumah adalah gambaran ideal sebuah keluarga yang sudah belasan tahun mungkin ada di pikiran Anda. Tak ada yang salah dengan pola pikir semacam itu.

Namun, saat ini, fakta menunjukkan bahwa ternyata faktor ekonomi, pekerjaan hingga gaya hidup secara perlahan namun pasti mulai menggeser kedudukan tipe keluarga ideal di atas tadi dan memunculkan aneka tipe keluarga baru, yang siap atau tidak, semakin banyak ditemui di masyarakat dewasa ini. Lalu, tipe keluarga mana yang Anda miliki saat ini?

Extended family
Ciri-ciri:
Terdiri dari keluarga inti (ayah, ibu dan anak) yang tinggal satu atap dengan orang dewasa lainnya, seperti kakek-nenek. Unit keluarga ini sering disebut sebagai ‘conguine family’ (berdasarkan pertalian darah).

Tantangannya:
1. Hadirnya orang dewasa lain di luar pasangan, tentu akan berpengaruh dalam berbagai hal, seperti saat mengambil keputusan,  penanaman nilai-nilai yang mungkin berbeda, cara penyelesaian masalah, maupun pengaturan finansial. Misalnya, bisa jadi, karena perbedaan generasi, orang dewasa lainnya yang serumah dengan Anda memiliki cara yang berbeda saat berinteraksi dengan anak. Sehingga anak bingung harus mengikuti pola asuh dan aturan yang mana.

2. Privasi Anda, pasangan dan anak akan terusik akibat campur tangan orang lain.

Solusi:
1. Tentukan batasan. Misalnya beri penjelasan kepada anggota keluarga lainnya bahwa soal pengasuhan anak dan finasial mutlak menjadi hak Anda dan pasangan.
2. Tetapkan privasi. Tentukan area privasi (kamar tidur, misalnya) dan minta agar anggota keluarga lainnya menghargai hal itu.
3. Jangan ikut campur dalam perdebatan keluarga. Jika pasangan mulai terlibat dalam pertengkaran keluarga, pergilah ke dalam kamar.

 



Keluarga Jarak Jauh (Commuter Family)
Ciri-ciri:
Karena tuntutan pekerjaan, salah satu orangtua (ayah maupun ibu) terpaksa tinggal di kota berbeda, sebagai kota tempat ia bekerja. Orangtua yang bekerja di luar kota bisa berkumpul dengan pasangan dan anaknya pada saat akhir pekan atau waktu-waktu tertentu.

Tantangannya:
1. Ketidakhadiran pasangan secara fisik membuat hidup bersama anak cukup berat. Karena bunda atau ayah harus berperan sebagai orangtua seutuhnya sekaligus menjaga stabilitas emosi dan rasa aman di rumah.

2. Harus di waspadai adalah antiklimaks ketika Anda berdua bertemu. Tak jarang karena rasa rindu, bunda dan ayah memiliki harapan tinggi terhadap satu sama lain. Ketika itu tidak terwujud, maka berbalik menjadi kecewa.

3. Anak akan kehilangan figur bunda atau ayah.

Solusi:
1. Perbanyak komunikasi melalui telepon, internet, surat, dan lainnya. Ungkapkan perasaan, seperti rindu, kehilangan atau senang.
2. Ciptakan waktu berkualitas ketika bertemu.
3. Tetap kompak dengan pasangan tentang cara mendisiplinkan anak. Saat bertemu jangan memanjakan anak atau justru terlalu ketat dan hindari terlihat berbeda pendapat di depan anak.
4. Tetap mengontrol hal-hal penting seperti kesehatan maupun sekolah anak meski hanya melalui telepon.
5. Kirim foto secara berkala pada anak agar ia tahu keseharian ayah atau bundanya.
6. Ajak anak sesekali melihat tempat kerja Anda agar ia tahu apa yang dilakukan oleh sang ayah atau bunda saat tak ada di sampingnya.
7. Beri perhatian dan dengarkan pasangan saat curhat.

 


Keluarga single parent
Ciri cirinya:
Hanya ada satu orangtua yang membesarkan anak. Keadaan ini terjadi biasanya melalui proses perceraian, kematian atau ditinggalkan begitu saja oleh pasangan (menyalahi hukum pernikahan).

Tantangannya:
1. Peran ganda. Karena Anda menjadi orangtua tunggal, maka Anda harus berperan sebagai ibu sekaligus ayah, atau sebaliknya.

2. Masalah keuangan. Sekarang, Andalah satu-satunya sumber keuangan dalam keluarga. Maka Anda harus mengelola keuangan dengan cerdas dan bijak.

3. Penerimaan lingkungan. Tak bisa dipungkiri, masih ada sebagian orang yang memandang remeh status janda atau duda. Bahkan tak merasa keberadaan janda atau duda menjadi ancaman keharmonisan rumah tangganya.

4. Kebutuhan Seksual. Setiap manusia pasti memiliki hasrat seksual yang butuh disalurkan. Jika ditahan, mengakibatkan tubuh terasa tidak nyaman. kondisi emosi tidak stabil, dan berujung pada munculnya rasa marah. Kemarahan tersebut mungkin saja secara tak sadar Anda lampiaskan kepada anak.

Solusinya:
1. Tidak menutup diri dengan lingkungan sekitar. Jalin komunikasi yang baik dengan tetangga dan ikut serta dalam kegiatan di sekitar rumah. Ini dapat membuat orang-orang di sekitar Anda lebih bisa memahami keadaan Anda sebagai orangtua tunggal.

2. Penuhi hari-hari dengan aktivitas seperti berolahraga, sehingga pikiran Anda tidak terfokus untuk memenuhi dorongan seksual.

3. Fokus pada apa yang dimiliki saat ini. Anak kini jadi pusat kehidupan Anda. Jika anak melihat Anda murung, tidak nyaman atau tidak aman, ia akan merasakan hal yang sama.

4. Sadarlah bahwa Anda tidak bisa menjadi segalanya bagi anak. Tak perlu merasa tertekan karena merasa anak tidak bisa mendapat kasih sayang yang utuh dari orangtuanya. Kasih sayang dapat diperolehnya melalui saudara atau orang-orang terdekat, bahkan ayah ataupun bundanya masih dapat  mengunjunginya setiap waktu.

5. hubungan baik dengan mantan pasangan hidup. Dalam hal mendidik dan mengasuh tentu lebih efektif  jika dilakukan berdua. Agar si kecil tidak bingung dan berharap lebih, tetap jelaskan kondisi orangtuanya yang tidak lagi bersama dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.

 


Keluarga yang mengadopsi anak
Ciri-ciri:
Pasangan istri dan suami yang mengangkat anak dengan sah secara hukum untuk dijadikan sebagai anggota keluarga.

Tantangannya:
1. Bukan tak mungkin jika ‘rahasia’ Anda terungkap, anak dapat menjadi sasaran bully lingkungan sekitar. Seiring bertambahnya usia, anak akan gencar mencari tahu siapa orangtua sebenarnya dan berkeinginan untuk tinggal dengan orangtua kandung.

2. Jika saat mengadopsi anak, Anda telah memiliki anak kandung dan anak kandung Anda lebih cemerlang -misalnya dalam hal penampilan dan prestasi- bisa jadi lingkungan sekitar akan membanding-bandingkan mereka.

3. Perselisihan anak kandung dengan anak adopsi seringkali terjadi karena anak kandung merasa bahwa anak yang diadopsi tidak termasuk keluarga mereka.

4. Bisa jadi sikap keluarga besar kurang ramah terhadap anak adopsi karena mereka tidak setuju dengan keputusan Anda mengadopsi. Ketidaksetujuan ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suku, ras, agama, keturunan atau status sosial.

Solusinya:
1. Beri waktu untuk saling mengenal agar bisa beradaptasi dan membangun ikatan batin.

2. Ikut dalam grup yang berisi orangtua yang juga mengadopsi anak. Berbicara dengan sesama orangtua yang memiliki pengalaman serupa tentu sangat membantu.

3. Tak perlu cemas dengan penilaian orang lain. Yakinlah si kecil akan berkembang dan bertumbuh dengan optimal dengan cinta dan perawatan tulus yang Anda berikan.

4.  Perhatikan faktor ‘keamanan’. Jika Anda tidak ingin membuka identitas anak, kondisikan lingkungan agar tidak ada yang mengungkap identitasnya.
 
5. Pilih saat yang tepat bila Anda ingin memberitahu anak sejak awal. Sebaiknya ia mendengar langsung dari Anda, bukan dari orang lain. Ini agar anak tetap mempercayai dan menghormati Anda.

6. Sepakat menciptakan suasana agar anak merasa dimiliki dan dicintai. Jangan sampai hanya salah satu dari Anda yang menginginkan keberadaannya.

 


Keluarga dengan satu anak
Ciri-ciri:
Pasangan istri dan suami yang memiliki satu orang anak dengan berbagai alasan, mulai dari masalah biologis, kenyamanan dan kebahagiaan, ingin meniti karir, hingga belum diberi keturunan lagi.

Tantangannya:
1. Anak terlalu banyak mendapat perhatian dan kasih sayang. Padahal perhatian dan kasih sayang yang berlebihan dapat ‘menjerumuskan’ anak dan menghambat aktualisasi diri dan pengembangan potensinya.

2. Anda cenderung membatasi pergaulan anak karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penculikan, anak terluka, menjadi korban bully. Padahal secara psikologis, anak butuh stimulus dari lingkungan di luar keluarga inti dalam hal bersosialisasi, terutama dengan teman sebaya.

3. Perkembangan sosial emosional anak menjadi terbatas karena sejak kecil tidak punya saudara kandung. Sehingga ia tidak pernah mengalami interaksi atau konflik.

4. Perhatian yang terpusat dari orangtua memberi beban psikis bagi anak tunggal. Sepanjang waktu ia merasa harus selalu menunjukkan bahwa dirinya memang yang terbaik (overachiever).

Solusi:
1. Pahami dahulu alasan utama Anda dan pasangan untuk hanya memiliki satu orang anak.

2. Sepakat mengenai cara mengasuh anak tunggal. Selain anak bisa berkembang optimal dan terbebas dari stigma sosial yang ada, Anda dan pasangan pun tak akan berselisih karena perbedaan pola asuh.

3. Dorong anak untuk lebih peduli pada orang lain. Misalnya ketika ia berulang tahun, Anda bisa mengajaknya berbagi dengan anak-anak di panti asuhan.

4. Hindari bersikap terlalu protektif, karena dengan bersikap protektif Anda akan membuatnya tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan kurang percaya diri. Jadi, izinkan ia melakukan hal-hal yang bisa ia lakukan sendiri sesuai usianya.

5. Ajarkan tentang tanggung jawab. Misalnya, ajak ia untuk selalu membereskan mainan seusai bermain, meletakkan sepatu di rak.

 


Keluarga dengan banyak anak
Ciri-cirinya:
Pasangan istri dan suami yang memiliki anak lebih dari dua.

Tantangannya:
1. Membutuhkan jumlah uang yang besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan anak yang berkualitas.

2. Sulit membagi perhatian dan ada kemungkinan timbul kecemburuan antara satu anak dengan anak yang lain.

3. Tak memiliki banyak waktu untuk pasangan dan diri sendiri akibat terlalu lelah mengurus banyak anak.

4. Waktu bersosialisasi pun terkikis.

5. Kerapihan rumah tak bisa bertahan lama.

Solusinya:
1. Letakkan semua keperluan anak (kecuali benda-benda berbahaya atau obat-obatan yang mengandung bahan kimia) di tempat yang mudah dijangkau. Mulai dari perlengkapan mandi, kotak-kotak mainan, pakaian, sepatu, dan lain-lain, hingga mereka tak harus selalu meminta bantuan Anda.

2. Beri anak tanggung jawab pada barang masing-masing. Misalnya saat hendak bepergian, setiap anak bertanggung jawab untuk menyiapkan ransel dan memilih perlengkapan yang mau dibawa.

3. Buat kegiatan menjadi menyenangkan. Misalnya jadikan kegiatan membereskan rumah sebagai kegiatan yang seru. Selain menambah keakraban, kesibukan itu juga meringankan pekerjaan rumah.

4. Berbagi tugas dengan pasangan agar masing-masing tak merasa terbebani dan memiliki porsi yang relatif sama.

5. Selalu punya waktu untuk berdua. Pilih waktu khusus untuk Anda berdua tanpa ada kehadiran anak-anak. Soal waktunya, Anda dan pasangan dapat menyesuaikannya.

6. Sisihkan waktu khusus untuk masing-masing anak. Misalnya dengan cara sekali dalam seminggu mengajak anak (secara bergantian) berbelanja keperluan sehari-hari.

 


Keluarga baru dari perkawinan kedua (blended family)
Ciri-cirinya:
Keluarga yang terdiri dari laki-laki dan atau perempuan yang telah menikah sebelumnya dan membentuk keluarga baru dan membesarkan anak dari hasil pernikahan sebelumnya.

Tantangannya:
1. Pernikahan kedua bisa jauh lebih rumit dan kompleks karena Anda berdua telah membawa trauma masa lalu.

2. Jika masing-masing membawa anak dari pernikahan sebelumnya ada kemungkinan terjadi masa penerimaan dan penyesuaian yang lambat, adanya perbedaan pola asuh, serta pembagian hak asuh dengan mantan pasangan.

3. Ekspektasi yang berlebihan. Pada umumnya pasangan yang baru menikah berharap bahwa perkawinannya kali ini akan lebih baik.

4. Uangku, uangmu, dan uang untuknya. Walaupun sudah berpengalaman, pembagian keuangan adalah hal sensitif untuk sebuah keluarga. Bagaimana mengalokasikan uang untuk keluarga dan kewajiban pada pihak lain. Sebaiknya ini dibicarakan sejak awal.

5. Gangguan masa lalu. Mantan suami atau mantan istri tentu tak bisa dilepaskan dari kehidupan baru yang Anda jalani kini. Terlebih jika bicara masalah anak. Bukan tak mungkin Anda akan terusik dengan komunikasi yang terjalin antara pasangan dengan sang mantan.

Solusinya:
1. Bicarakan soal anak dari awal. Sebelum muncul masalah, sebaiknya bicarakan dari awal, misalnya mengenai jadwal pertemuan dengan si ayah atau si ibu kandung, pemberian nafkah bagi anak, urusan pendidikan, hingga soal pola asuh yang akan.

2. Beri batasan yang jelas dan tegas kepada mantan pasangan, agar ia tidak terlalu mencampuri perkawinan kedua Anda. Pun jangan sembunyikan apa pun soal mantan dari pasangan saat ini.

3. Tak memaksakan diri untuk dekat dan disayangi oleh anak kandung pasangan Anda. Biarkan semuanya berjalan secara natural, Cukup tunjukkan perhatian dan kasih sayang kepadanya dan biarkan waktu yang menentukan semuanya.

4. Jujur dan terbuka pada pasangan mengenai segala hal. Ungkapkan padanya cara Anda menghadapi masalah. Dengan begitu, dia bisa mengenal Anda lebih dalam atau malah Anda berdua menemukan aturan baru menangani konflik di masa depan.

KONSULTAN: IRMA GUSTIANA ANDRIANI, M.Psi, Psi., psikolog anak dan keluarga dari LPT-UI.

 

 



Artikel Rekomendasi