Dampak Jika Anak Alergi Susu Sapi, dan Solusinya

 



Di masa pertumbuhan, sangat penting bagi anak untuk memeroleh asupan protein. Protein merupakan salah satu zat gizi vital yang berfungsi sebagai zat pembangun dan pembentuk jaringan tubuh. Jika anak tidak cukup memeroleh protein, maka fungsi tubuhnya bisa tidak optimal. 

Umumnya, orang tua mencukupi kebutuhan protein anak dengan susu sapi. Susu sapi memang dikenal sebagai sumber protein yang baik dan mudah ditemukan. Namun, ada kondisi tertentu yang menyebabkan anak tidak dapat mengonsumsi susu sapi. Misalnya, karena alergi. 

Menurut konsultan alergi dan imunologi anak, Prof. DR. Budi Setiabudiawan, Sp.A(k), M.Kes., terdapat 7,5 persen anak yang mengalami alergi susu sapi di Indonesia. Selain itu, data dari klinik anak di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012 menunjukkan bahwa 23,8 persen mengalami alergi susu sapi.

"Protein yang terdapat di dalam susu sapi itu ada dua macam, yaitu kasein dan whey, ini merupakan alergen yang dapat menyebabkan reaksi alergi," kata Prof. Budi di acara Webinar Pekan Tanggap Alergi Generasi Maju yang digelar oleh SGM Eksplor Advance+ Soya, Senin, 29 Juni 2020. 

Jika anak mengalami alergi susu sapi, kata Prof. Budi, harus segera diatasi. Karena, kondisi alergi tersebut dapat menimbulkan dampak yang signifikan, bukan hanya terhadap status kesehatan fisik anak, tetapi juga kesejahteraan psikologisnya. 

"Ini jika tak segera diatasi, dapat meningkatkan risiko penyakit degeneratif, seperti obesitas, hipertensi, sakit jantung," ujar Prof. Budi. 

Selain itu, dampak lainnya adalah tumbuh kembang anak yang terganggu. Ia bisa saja mengalami keterlambatan tumbuh kembang, karena kondisi alergi itu berhubungan dengan jenis dan durasi pantang makanan. 
 
Aspek ekonomi keluarga juga dapat terpengaruh. Sebab orang tua harus mengelurkan biaya untuk pengobatan anak. "Pengeluaran  orang tua akan lebih banyak.  Untuk pengobatan si kecil, pengeluaran beli obat. Jadi ini dampak ekonomi," tambahnya. 

Ditambah lagi, dampak psikologis berupa stres pada anak dan orang tua, sehingga berakibat pada menurunnya kualitas hidup anak. "Yang paling berat biasanya stres pada orang tua karena orang tua harus memikirkan ekonomi untuk biaya pengobatan, memikirkan dampak tumbuh kembang si anak, jadi stres itu  sering terjadi pada orang tua," kata Prof. Budi. 

Untuk menghindari atau mencegah agar dampak-dampak alergi tersebut tidak terjadi pada anak dan keluarga, Prof. Budi menyarankan tiga hal yang terangkum dalam rumus 3K (Kenali, Konsultasikan, Kendalikan):

 Kenali
Orang tua harus mengenali tanda-tanda atau gejala anak mengalami alergi susu sapi.

Umumnya reaksi alergi dapat terlihat dari tiga organ, yaitu:

- Saluran cerna, gejalanya berupa diare (53 persen), kolik atau mulas (27 persen).

- Kulit, gejalanya berupa urtikaria atau biduran (18 persen), dermatitis atopik atau eksim (35 persen).

- Saluran napas, gejalanya berupa asma (21 persen), rinitis (20 persen).

- Umum: anafilaksis (11 persen)/ gejala berat yang jika tidak ditangani dengan segera, dapat menimbulkan kematian. 

Konsultasikan
Orang tua jangan sampai terlambat mengonsultasikan ke dokter ahli apabila menemukan gejala-gejala  alergi susu sapi pada anak. Hindari juga mengira-ngira atau mendiagnosa sendiri. Hal ini selain menyebabkan lambatnya tata laksana, juga bukan merupakan tindakan yang bijak. 

Kendalikan
Jika sudah dikonsultasikan ke dokter ahli, selanjutnya akan ditegakkan diagnosa apakah gejala yang dialami anak, benar karena alergi atau bukan. Setelah itu, dokter dapat menentukan tata laksana yang sesuai. Apabila diketahui anak alergi susu sapi, dokter akan memberikan nutrisi pengganti sehingga tumbuh kembang anak tetap berjalan dengan optimal. 

Berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), tata laksana terhadap anak yang alergi susu sapi dilakukan berdasarkan indikasi medis anak tersebut. Untuk gejala alergi berat, diberikan asam amino. Untuk gejala alergi ringan-sedang, diberikan protein terhidrolisa ekstensif, namun di beberapa daerah sangat sulit untuk mendapatkan formula ini dan umumnya terdapat kendala biaya dari orang tua. 

"Untuk Bunda yang susah memperoleh formula protein terhidrolisa ekstensif, itu dapat diganti dengan formula isolat protein soya. Jadi formula soya bisa menggantikan formula protein hidrolisa ekstensif, karena soya bisa diberikan pada anak-anak atau si kecil dengan gejala ringan sampai sedang," kata Prof. Budi. 

ALI

 

 



Artikel Rekomendasi