Anak Disleksia Bisa Sukses Juga

 

Foto: shutterstock

Jangan dulu merasa dunia kiamat. Penyandang disleksia tidak akan kehilanga masa depan. Kesuksesan bukan hanya milik anak-anak yang pintar baca – tulis – hitung.
 
 
“Kalau ada orang berkata ‘si Anu disleksia’, Anda harus memberi selamat pada anak itu dan mengatakan, ‘bagus nak, kamu sangat-sangat-sangat beruntung’,” kata Jamie Oliver (42), selebrita chef asal Essex, Inggris . Kalau sekarang ia sukses menjadi chef dengan bisnis bernilai jutaan pondsterling, katanya bukan karena ia jago memasak.
 
“Disleksia membuat saya sukses dan itu harus dirayakan. Kondisi itu membuat saya kerja keras,” tuturnya pada www.dailymail.co.uk. Ia yakin bahwa kesulitan belajar yang ia alami – yang membuatnya sulit membaca, menulis, dan mengeja, menjadi motor penggerak di balik keberhasilannya saat ini.
 
Buku pertamanya The Naked Chef yang ia buat di usia 24 tahun, terjual sebanyak 2 juta copy. Hingga tahun 2017, ayah 5 anak ini sudah menerbitkan 20 buku. Setelah JK Rowling, Jamie Oliver menempati urutan ke dua dalam hal penulis buku terlaris di Inggris.
 
Jamie bukan satu-satunya orang top yang mengalami disleksia. Jauh sebelum dirinya sudah ada Albert Einstein, Sir Winston Churchill, Agatha Christie, Alexander Graham Bell, dan masih banyak lagi orang pintar lainnya.  Di sekolahnya, Jamie disebut sebagai anak berkebutuhan khusus. Dibully, dikata-katai, dibuatkan lagu dan dinyanyiinspecial need”. Dia tidak pernah menyesal. Ia malah bersyukur karena sebagai penyandang disleksia ia punya cara pandang yang berbeda, yang membuatnya membangun kekuatannya di bidang lain.
 
Tidak berkaitan dengan kecerdasan
 
“Disleksia merupakan salah satu jenis dari gangguan perkembangan, yaitu gangguan belajar spesifik,” jelas Anita Chandra, M.Psi, Psikolog Anak.
 
Ia menjelaskan,   disleksia merupakan alternatif istilah yang digunakan untuk menggambarkan pola gangguan belajar yang ditandai dengan adanya masalah dengan ketepatan dan kelancaran membaca kata,  lemahnya kemampuan menginterpretasi kode atau simbol  dibandingkan kemampuan seusianya (misal dalam mengenali huruf), lemahnya kemampuan mengeja, serta lemahnya pemahaman akan bacaan - misal anak mampu membaca namun tidak memahami isi bacaan.
 
Selain disleksia, gangguan belajar spesifik itu juga ada yang namanya disgrafia; ditandai adanya masalah ketepatan mengeja, ketepatan tatabahasa, dan tanda baca serta kejelasan atau susunan dalam tulisan. Misalnya saja bermasalah ketika menyusun cerita dalam sebuah karangan.
 
Ada diskalkulia, yaitu kemampuan yang lemah pada pengertian terhadap angka. “Misalnya anak tidak mengerti bahwa angka 8 memiliki jumlah lebih besar daripada 5. Anak dengan diskalkulia juga mengalami kesulitan mengingat fakta atau hukum aritmatika, kelancaran dan ketepatan dalam melakukan penghitungan, serta ketepatan dalam penalaran matematis. Misalnya ada kalimat; ‘ibu membeli lagi’ itu berarti menambah,” papar Anita. Padahal kemampuan di bidang itu semua akan diperlukan anak dalam proses belajarnya di sekolah.
 
Sebegitu sulitnya anak membaca, memahami bacaan, dan memahami hukum aritmatika, semua riset tentang disleksia menyebut bahwa disleksia tidak berkaitan dengan kecerdasan, juga tidak berhubungan dengan masalah menglihatan.  Anak-anak dengan disleksia memiliki kecerdasan normal, bahkan tinggi. Mereka juga memiliki penglihatan yang baik.. Lalu masalahnya di mana?
 
Disleksia terjadi karena bagian otak yang memroses huruf dan bunyi mengalami masalah. Ini mengakibatkan sulitnya memecah kata menjadi bunyi. Misalnya s-a menjadi sa, dan p-u menjadi pu.       
 
Siapa yang terisiko disleksia? Siapa saja bisa, terutama bila ada riwayat disleksia di dalam keluarganya. Disleksia disebabkan faktor gen, adanya kelainan pada kromosom nomor 1, 15, dan 16. Di Indonesia diperkirakan 10 persen dari 50 juta anak usia sekolah menyandang disleksia. Gangguan yang melibatkan saraf ini tidak dapat disembuhkan.
 
Imma Rachmani

 



Artikel Rekomendasi