Dahsyatnya Dampak Cerita Bagi Anak

 

Tontonan atau cerita yang biasa-biasa saja buat kita, bisa jadi luar biasa  dampaknya untuk anak. Yuk kita cermati, tontonan dan cerita yang biasa anak kita ikuti

”Aku mau tidur sama Ibu saja.... Nggak mau tidur sendiri!” Itulah ‘sikap tegas’ Ray (4) ketika suatu saat tak mau tidur sendiri di kamarnya. Dia takut bila tiba-tiba bumi bergoyang, terbelah, rumah dan bangunan runtuh. Ia tak bisa lagi bertemu dengan ayah, ibu, adik, bu guru dan teman-temannya. Selidik punya sedilik, rupanya diam-diam Ray ikut menonton 2012 saat paman dan tantenya menonton film tersebut.

Lain lagi dengan Mira. Gadis cilik usia 5 tahun ini takut gelap dan tak mau ke kamar mandi sendiri. “Serem ah, ada setannya,” katanya dengan mimik ketakutan. Ya, Mira jadi ’kenal’ setan setelah menonton film horor di sebuah stasiun televisi yang menggambarkan makhluk halus berwajah tanpa mata dan hidung dengan rambut panjang awut-awutan.

“Ibu, ibu jangan cerita Kancil  lagi ya. Aku sedih banget lho. Harusnya Kancil itu nggak usah dipukuli. Dikasih tahu aja, jangan mencuri lagi. Pak Tani jahat banget. Aku mau diceritain yang lain aja,” kata Ari (4). Dongeng si kancil yang didengarnya beberapa hari lalu membekas dalam benaknya.

Anak usia balita menyerap informasi dari apa yang mereka lihat atau dengar terus-menerus tanpa tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Sebab, ia belum sepenuhnya memiliki kemampuan untuk memahami mana yang nyata dan bukan.

Khayalan atau imajinasi berbaur dengan kenyataan. Jadi, membiarkan mereka menonton film horor, melihat berita dan terus-menerus mendengar orang dewasa bercerita tentang hal-hal menakutkan bisa membuatnya cemas dan berperilaku berlebihan.

Antara logika dan imajinasi. Mengutip Piaget, seorang ahli yang meneliti perkembangan kognitif manusia, Olifa Asmara, Psikolog Pendidikan lulusan Universitas Indonesia menjelaskan, di usia 4–5 tahun, anak sedang berada dalam tahapan berpikir pre-operational.  Pada tahapan ini, anak sudah dapat menggunakan simbol dengan lebih baik, seperti dapat bermain pura-pura (pretend play) dengan menggunakan piring plastik menjadi setir mobil atau sisir menjadi mikrofon.

Di sisi lain, anak belum siap untuk terlibat dalam operasi mental, atau
manipulasi yang menuntut pemikiran logis. Ia berpikir egosentris. Contohnya, saat anak berkelahi dengan adiknya, lalu  si adik sakit, maka  anak  akan menyalahkan dirinya karena merasa menjadi penyebab  sakitnya si adik. “Dengan kondisi perkembangan kognitif seperti ini, tidak heran jika anak membuat respons yang kurang logis dari peristiwa yang dia lihat. Seperti setelah menonton film horor, ia menjadi takut tidur sendiri, ” kata Olifa.

Di tahap berpikir ini, anak belum bisa membedakan khayalan dan kenyataan. Imajinasi dan kenyataan bisa berbaur, sehingga ketika dia bercerita,   imajinasi dan kenyataan dirangkai menjadi satu. Sisi baiknya tahap perkembangan ini, anak mampu mengimajinasi sebuah cerita, menggambarkan tokohnya, dan mengimajinasi berbagai peristiwa yang terjadi di dalam cerita atau dongeng. Saat mendengar cerita atau menonton film, anak meletakkan dirinya sebagai salah satu tokoh cerita, seolah dia sendiri mengalaminya.

Itu sebabnya, cerita atau tontonan yang mendidik akan membuat anak meniru nilai-nilai yang ada dalam cerita tersebut. Misalnya, bagaimana hidup saling menolong, menghargai perbedaan dan lain-lain. Sebaliknya, cerita yang banyak mengekspos peristiwa bencana alam, kekerasan atau penyiksaan, misalnya, bisa membuat anak merasa takut atau sedih berlarut-larut. Itulah yang menjadikan alasan, kenapa kita sebaiknya rajin memantau apa yang ditonton dan dibaca oleh anak.

Baca juga:




 



Artikel Rekomendasi