Kenali Disleksia Sejak Dini

 

Caption
Disleksia sulit dikenali sampai seorang anak mulai belajar membaca. Di Indonesia, anak-anak mulai diperkenalkan dengan huruf di kisaran usia 5 tahun. Anak-anak TK umumnya mulai diajarkan untuk menulis namanya sendiri.  
 
“Dimas dicurigai disleksia pada usia 5 tahun. Dia terlambat bicara, penambahan kosa kata sangat lambat. Di usia 6 tahun ia dinyatakan mengalami disleksia. Kalau anak seusianya senang  membaca apa saja, Dimas tidak. Nama-nama toko yang kami lewati saat kami pergi, tidak satupun dia baca. ‘Satpam’ dia ucapkan ‘saptam’,” kisah Ella, ibu 2 anak.
 
Di usianya sekarang Dimas (7) masih mengalami kesulitan memahami kalimat. “Dia berjuang mengeja kata. Ketika satu kalimat selesai, kata yang di awal kalimat tadi sudah lupa,” papar Ella. Itu sebabnya Dimas tidak bisa memahami satu kalimat utuh.      
 
Meski di prasekolah belum ada tuntutan kemampuan membaca,  ada beberapa hal yang dapat menjadi tanda disleksia pada usia prasekolah, diantaranya:

- Kesulitan menirukan gambar sesuai posisi atau arah.

- Kesulitan mengenali huruf, atau angka, seperti ‘d’ tertukar dengan ‘b’ atau ‘6’ tertukar ‘9’.

- Kesulitan belajar membaca, misalnya dari huruf menjadi suku kata.

- Kesulitan mengenali kata-kata berrima, seperti ‘menjemur tikar di pagar’

- Kesulitan manipulasi kata

- Kesulitan belajar bunyi dari huruf (phonetik), seperti ‘n dan g menjadi ‘ng’. ‘t’ dan ‘a’ menjadi ‘ta’.

- Kesulitan melakukan tugas yang berurutan.

- Kesulitan mengenali arah (kanan-kiri, atas-bawah, sebelum -sesudah)

- Kesulitan mengikuti gerak berurutan, misal saat circle time

 
Kalau Anda mencurigai anak Anda mengalami disleksia, lebih baik bawa anak ke dokter
ahli saraf. Dokter akan melakukan pemeriksaan, dan dapat menemukan apakah anak mengalami disleksia, disgrafia, dan diskalkulia. Tampilan gangguan disleksia berbeda pada tiap individu. Bisa saja anak mengalami ketiganya.
 
 “Kalau kita spesifik pada disleksia, berarti fokusnya pada kemampuan membaca. Itu pun variasinya sangat banyak. Ada yang kesulitan mengenali huruf, menggabungkannya menjadi suku kata – misalnya hurufnya seperti melayang-layang, atau kesulitan menggabungkan kata menjadi kalimat, dan kesulitan memahami inti bacaannya,” jelas Anita. Dalam diagnosa, disleksia dikategorikan ringan, sedang, dan berat.
 
Apapun kategorinya, gangguan ini harus dikenali sejak dini agar dapat dilakukan intervensi sejak dini pula. Sebab jika tidak ditangani dengan baik akan berakibat pada gangguan sosial dan emosional. Gangguan sosial emosional muncul dalam bentuk sikap tidak percaya diri, labil, mudah tersinggung, merasa diri bodoh, dan menjadi korban bully di sekolah.
 
“Secara umum, dampak dari disleksia adanya masalah dengan tugas-tugas yang berkaitan dengan membaca dan menulis, perilaku menghindar pada tugas-tugas tersebut. Hal itu tentu menyebabkan nilai hasil akademik tidak optimal atau tidak sesuai dengan potensi intelektual anak (IQ-nya),” papar Anita.  
 
Menurutnya, yang lebih besar adalah dampak psikologisnya. Karena anak menghindar pada tugas-tugas membaca dan menulis, anak dicap malas dan bodoh. “Pernah ada kasus anak yang mengangkat kursi – siap melempar kursi ketika diberi kertas dan pinsil,” kisah Anita.

Imma Rachmani
 

 



Artikel Rekomendasi