Mengenalkan Kesetaraan Gender kepada Anak ala Ernest Prakasa

 

Ernest, Meira, Sky, dan Snow. Foto: dok. pribadi


“Ihh, anak cewek, kok, main robot-robotan?”
“Aduh, anak cowok, kok, nangis, sih? Kayak anak cewek saja.”
 
Sering mendengar kalimat-kalimat ini? Bunda atau Ayah merasa ada yang bermasalah tidak dengan kalimat-kalimat tersebut? Mungkin, kalimat tersebut menjadi sebuah kewajaran, karena sudah terlanjut menjadi narasi besar di masyarakat bahwa ada seperangkat aturan tidak tertulis yang mengatur bagaimana anak laki-laki dan perempuan harus berperilaku ataupun berpenampilan.
 
Padahal, kalau mau lebih bijak lagi, kalimat-kalimat tersebut sebetulnya bias gender. Tak ada salahnya bagi anak perempuan untuk main robot-robotan atau mobil-mobilan. Mereka berhak bermain apa saja yang mampu menghibur dan menjadi sarana eksplorasi baginya. Tak ada salahnya juga bagi anak laki-laki untuk menangis. Mereka berhak mengekspresikan emosinya dan belajar mengaturnya.
 
Ernest Prakasa, komika dan sutradara film juga merasakan hal yang sama terkait isu gender ini. Ia menceritakan pengalamannya mendidik anak-anaknya, Sky dan Snow, usai menjadi pembicara di Indonesian Women’s Forum 2019 lalu. “Ini memang sesuatu yang sudah sangat turun menurun,” ujarnya. Menurutnya, hal tersebut tidak perlu diteruskan. Ia mulai menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender kepada anak perempuannya. “Anak perempuan tidak harus terasosiasi dengan karakteristik tertentu. Itu yang harus kita dobrak.”
 
Keluarga Ernest sendiri mengawali hal tersebut dengan cara menjadi orang tua yang sebisa mungkin tidak bias gender. Mereka memfasilitasi anak-anak secara bebas untuk memilih apa saja. “Misalnya warna, anak perempuan tidak harus ke mana-mana mengenakan baju warna pink. Anak perempuan saya paling senang pakai warna hitam,” tuturnya.
 
Ernest mengaku bangga kepada anak perempuannya yang sudah memahami kesetaraan gender. “Kenapa Mama dipanggil Bu Ernest, sementara Papa nggak dipanggil Pak Meira?” ujar Ernest menirukan pertanyaan anaknya. “Saya bangga dia sudah memiliki pemikiran yang dalam tanda kutip cukup feminis,” terangnya.
 
Dari sini, Ernest melihat bahwa anaknya sudah mampu melihat persoalan ketidakadilan. “Paling tidak sudah ada spirit untuk equality di benaknya,” tutur Ernest.
 
 
(Lela Latifa)

 

 



Artikel Rekomendasi