Anak Laki-laki Sehat Emosi, Cegah Toxic Masculinity

 

 
foto: shutterstock

Lebih mudah bagi para orang tua menjaga kesehatan fisik anak. Demam, sakit perut, batuk, pilek, juga keterlambatan perkembangan. Tapi untuk kesehatan emosi anak, bagaimana kita bisa tahu?
 
Emosi yang sehat dilihat dari kemampuan seseorang untuk sadar terhadap emosinya, paham dan mampu mengendalikan emosinya. Apakah saat itu sedang meninggi, rendah, atau di antara keduanya.
 
Anak tidak dilahirkan dengan kemampuan itu. Kemampuan itu berkembang bersamaan dengan perkembangan otaknya selama masa kanak-kanak terutama dalam 5 tahun pertama dimulai sejak lahir. Yaitu ketika Anda menjalin ikatan dengannya, ia membangun rasa percaya, dan belajar mengatasi stress sehari-hari.
 
Ketika bayi tumbuh besar, ia akan belajar bicara untuk minta apa yang dia butuhkan, untuk mengatasi rasa kecewa. Ini pelajaran penting saat ia memasuki usia 2 tahun, saat ia mulai sadar dirinya punya kemauan dan tidak ingin diberi batasan.
 
Selama proses belajar itu anak-anak kerap merasa frustrasi, marah karena mereka tidak tahu cara mengungkapkan rasa kecewa dan sedihnya. Tapi kemudian dengan bantuan kita dan paparan dari lingkungannya, anak belajar menunggu dan mengekspresikan perasaannya dalam cara yang membangun.
 
Anak-anak yang sehat secara emosional memiliki fungsi pengambilan keputusan yang baik, yang memungkinkan mereka menanggapi situasi dengan self control, berpikir kritis dan lain-lain.
 
Toxic masculinity harus dicegah
Untuk semua orang, sehat emosi itu penting. Tapi untuk anak laki-laki, itu sangat penting karena masyarakat secara tradisional berharap sesuatu yang bebeda dari anak laki-laki, dan mengondisikan mereka pada perilaku tertentu.
 
Anak laki-laki sering diajarkan untuk tidak tampak sedih, kecewa atau malu. Mereka harus tampak kuat, tegar, agresif,  dan dominan.
 
Pesan itu tidak hanya datang dari orang tua mereka, tetapi juga dari masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu banyak tontonan film yang menyajikan sikap tangguh, agresif dan kejahatan pria dewasa. Jarang ada tontonan yang menyajikan pria menunjukkan emosi dalam budaya pop.
 
Baca: Anak Laki-laki Boleh Lho, Menangis 

Tapi pemikiran - apa artinya menjadi anak laki-laki (kemudian jadi pria dewasa) - dapat membahayakan anak-anak, memengaruhi cara mereka memroses emosi dan relasi mereka selama masa kanak-kanak dan masa dewasa.
 
Dengan kata lain anak-anak dengan emosi yang tidak sehat dapat tumbuh menjadi pria dewasa yang punya pandangan toksik terhadap maskulinitas mereka. Toxic masculinity atau maskulinitas toksik/beracun kemudian dapat mengubah atau  memengaruhi  kesehatan fisik dan mental mereka.
 
Toxic masculinity kelak dapat dilihat dari perilaku saat dewasa:
  • Tidak suka makan sayur
  • Mengonsumsi minuman keras dan zat-zat adiktif
  • Berani ambil risiko berbahaya di dunia kerja
  • Kebut-kebutan di jalan
  • Menghindari pemeriksaan kesehatan untuk mencegah penyakit
  • Meningkatnya perilaku bully
  • Punya pandangan buruk tentang bantuan ahli kesehatan mental
 
Banyak riset yang membuktikan bahwa pembentukan sikap maskulin secara tradisional akan menghasilkan kesehatan mental yang sangat buruk. Di Amerika, aki-laki memiliki kecenderungan 3,5 kali lebih tinggi dibanding perempuan.
 
Ayah, ini bantuan  yang diperlukan anak laki-laki
 

 



Artikel Rekomendasi