Bebaskan Anak dari Kekerasan

 

Foto: freepik

Teriakan, bentakan dan ancaman sama menyakitkannya dengan pukulan. Bebaskan buah hati Anda dari kekerasan, apa pun bentuknya.
 
“Ih, tega ya mukuli anak  sekecil itu?” Kita kerap berkomentar demikian ketika membaca berita yang jadi viral di media sosial tentang ibu atau ayah yang tega menganiaya anaknya. Atau malah mungkin kita tak ingin membacanya – cukup dengar -  dan  bergidik ketika membayangkan penganiayaan itu.
 
Sebagian besar dari kita memang sudah menyadari dampak buruk memukul anak dengan alasan mendisiplin. Kita pun kerap berharap jangan sampai memukul anak, semarah apa pun diri kita. Betulkah?
 
Bunda dan Ayah, ketika si kecil bungkam tak mau membuka mulutnya - setelah 15 menit hanya sesendok makanan masuk ke dalam mulutnya. Ketika si kecil membantah, ngotot tak mau mandi. Ketika anak meneriakkan kata kasar,  menangis meraung-raung sambil melemparkan pakaian bersih ke dalam ember penuh air. Ketika si kecil menendang pot bunga hingga pecah berantakan. Bagaimana reaksi emosi Anda?
 
Jangan Terjebak
Banyak ‘jebakan batman’ saat kita mengasuh si kecil. Polah tingkah anak yang di luar kemauan kita, membuat jantung berpacu lebih cepat (memompa adrenalin), membuat hati mendidih dan kepala kita beruap.
 
Tapi kesadaran kita mengingatkan agar kita tidak terjebak untuk memberikan hukuman fisik. Sayangnya, kelelahan dan daya tahan emosi kita yang melemah, kerap membuat kita bereaksi keras: Berteriak, mengancam, dan menakut-nakuti. Alasannya, untuk menghentikan polah anak.
 
Siapa yang pernah menyangka, bayi imut lucu menggemaskan, hanya dalam kurun waktu 3 tahun berubah menjadi teroris kecil? Mengapa tiba-tiba ia menjadi sosok yang sulit kita kendalikan dan menolak disiplin yang selama ini sudah Anda terapkan? Mandi, sarapan, main, makan siang, tidur siang, hingga tidur malam dia jalani tanpa pemberontakan.
 
Mendisiplin anak dengan kekerasan masih menjadi hal penting di Indonesia, baik itu di rumah maupun di sekolah. Faktanya, sebanyak 73,7 persen anak usia 1 – 14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis (membentak, mengancam, menakut-nakuti), dan hukuman fisik di rumah. Demikian laporan Global Report pada tahun 2017.
 
Amerika, negara yang kerap meneriakkan penegakan hak asasi manusia, tak kalah buruk dalam hal ini. Sebanyak 700.000 anak/tahun mengalami kekerasan, ¾ nya mengalami pengabaian: Tidak diawasi dan kurang gizi.
 
Menghadapi anak yang challenging memang tidak mudah. Kalau kita menemukan sebuah artikel tentang pengasuhan anak, mungkin dengan sinis kita mengatakan, “ah, teori!” Padahal pemahaman tentang perkembangan anak sangatlah penting bagi para orang tua yang memiliki balita.
 
Anak berusia 3 sampai 5 tahun adalah yang paling terisiko kekerasan. “Anak-anak usia 3 tahun mulai mengembangkan otonominya. Ini periode kritis, di mana pendisiplinan terjadi di  usia ini. Di usia inilah anak berisiko mengalami kekerasan karena nggak bisa diomongin, nggak mau diatur,” kata Evi Sukmaningrum, M.Psi, Ph.D.
 
Lebih lanjut, pengajar Psikopatologi Anak, Psikologi Konseling, dan Metode Penelitian Kualitatif  di Unika Atma Jaya Jakarta ini mengatakan, “Balita ini sedang menjadi orang dewasa cilik, sedang belajar mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, tapi kita cegah. Lalu, kapan ia belajar menjadi anak yang otonom? Kalau banyak dicegah ia tidak akan belajar.”
 
Beri kesempatan pada anak untuk mengatur dirinya sendiri. Ketika anak menjawab, “Aku nggak mau mandi sekarang!” Di sinilah Anda, Bunda dan Ayah, memberi pilihan. “OK, Nak, nggak mandi sekarang boleh. Nanti kalau mau mandi bilang, ya. Mau mandi air hangat atau air dingin? Pengen mandi di mana? Di car port, di dekat mesin cuci, atau di kolam ikan?” Sertakan sedikit humor. Anak terlambat mandi atau tidak  mandi sekali saja dalam sehari tidak akan membuatnya mati.
 
Kendalikan Emosi
Kemampuan mengendalikan emosi  merupakan keterampilan penting yang harus dimiliki para bunda dan ayah yang memiliki balita. Bayi lahir dengan 100 miliar sel otak yang memungkinkannya untuk berpikir sendiri untuk dirinya.
 
Di usia 3 tahun perkembangannya begitu pesat, menjadi 1.000 trilliun koneksi antar sel otak. Artinya, otaknya menyerap banyak hal dengan sangat kecpat, dan kemampuan ini dua kali melebihi kemampuan otak orang dewasa.
 
Sebagai individu yang terpisah dari orang tuanya, balita Anda sedang belajar berpikir untuk dirinya. Ia ingin memutuskan apa yang ingin ia lakukan – yang kerap kali berbenturan dengan aturan yang sudah Anda terapkan.
 
Kita, orang tua, memiliki SOP (Standard Operating Procedure) tentang apa saja yang harus dijalani oleh anak. Sehabis main ya harus cuci tangan. Setelah bepergian ya harusnya ganti baju, cuci kaki dan tangan.
 
Apa yang terjadi ketika anak tidak melakukan itu semua? Emosi kita tersulut, “Eh, kok, gitu, sih? Aturannya, kan, nggak  gitu!” Satu kali anak diingatkan membantah, kedua kali bergeming, ketiga kali, mulailah kita mencari-cari cara untuk membuatnya bergerak mengikuti SOP kita. Cubit bokongnya? Sentil atau jewer kupingnya? Jambak rambutnya?
 
Tarik napas, buang napas, lakukan 10 kali. Kendalikan adrenalin. Begitu kira-kira nasihat instruktur yoga atau ahli meditasi.  Ada benarnya. Menghadapi anak yang challenging memang diperlukan keterampilan mengendalikan emosi.
 
Apa yang terjadi dengan otak Anda saat Anda diliputi kemarahan? Seorang ahli psikologi mengatakan, ketika Anda marah, yang terjadi dalam pikiran Anda adalah pikiran paranoid, “Mengapa kamu tidak berpikir seperti aku? Kan, aku sudah bilang berkali-kali, harusnya kamu melakukan apa yang aku pikirkan dan harapkan….”
 
Lantas, kapan kita boleh complain anak kita, dong? Masa yang begitu dibiarkan? Tunda dulu complain-nya, Bunda dan Ayah. Karena cara paling alami dan instingtif untuk mengekspresikan kemarahan adalah dengan bertindak agresif. Demikian pendapat  Charles Spielberg, Ph.D, psikolog yang meneliti tentang kemarahan, dalam sebuah jurnal, American Psychological Association.  
 
Imma Rachmani
Konsultan :
 Evi Sukmaningrum, M.Si, Ph.D Kepala Pusat Penelitian HIV/AIDS dan Pengajar di Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya Jakarta.

 


Topic

#corona #coronavirus #viruscorona #covid19 #dirumahsaja #dirumahaja #belajardirumah #workfromhome



Artikel Rekomendasi