Bila Terpaksa Bercerai

 

Foto: Envato


Siapa sih, yang ingin bercerai? Tidak ada pasangan yang berencana berpisah saat mereka menikah. Bila terpaksa bercerai, bantu anak mengatasi kondisi.

 

Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang memiliki fungsi sebagai tempat pertama bagi anak untuk belajar bermasyarakat dalam proses membangun karakter dan kepribadian. Orang tua, ayah dan ibu - adalah sosok paling dekat dengan anak untuk belajar tentang dunia sekitarnya. 

 

Salah satu kesejahteraan psikologis anak ditentukan oleh tingkat keharmonisan keluarga. Keluarga yang harmonis akan mampu menjalankan fungsi dan perannya dalam membangun karakter anak secara optimal.

 

Tapi kenyataan sosial menunjukkan bahwa tidak semua keluarga mampu memelihara rumah tangga yang harmonis dan nyaman untuk anak. Terkadang perceraian terjadi untuk mengakhiri konflik atau masalah yang berkepanjangan. 

 

“Perceraian adalah salah satu live event yang painful, stress, dan bahkan traumatik bagi anak,” kata Evi Sukmaningrum, Ph.D, Psikolog, dalam sebuah wawancara tertulis. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa untuk zaman now yang membuat bertambah berat adalah exposure ke media sosial. “Plus, kalau public figure, media punya peran dalam menambah trauma keluarga. Misalnya dengan memberitakan pernikahan, expose kronologis, perceraian, yang  malah memperburuk kondisi anak yang sedang butuh waktu untuk memahami perceraian itu sendiri, dan melewati proses yang bagi mereka tentu menyakitkan.”

 

Marah itu wajar

Merujuk pada kasus perceraian selebrita yang mengunggah kemarahannya di media sosial karena suaminya berselingkuh,  kita tentu merasa prihatin, mengkhawatirkan kondisi psikologis anak-anaknya. Bagaimana kondisi psikis mereka ketika si ibu terus menerus menanamkan kemarahan dan kebencian pada ayahnya? 

 

“Pertama-tama kita perlu memahami dulu apa yang dirasakan pasangan yang dikhianati, dalam hal ini ibu. Dia punya hak untuk marah karena dikhianati. Saat ini banyak orang mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka di media sosial. Ini semacam ‘jeritan hati’ karena merasa diperlakukan tidak adil. Media sosial sebagai salah satu bentuk untuk mendapatkan support juga dari orang lain,” jelas Evi.  

Perceraian memberikan dampak psikologis yang berat, baik bagi pasangan maupun bagi anak-anak. Pasangan yang ketika bercerai akibat perselingkuhan suami, misalnya, tentu memiliki kemarahan dan luka yang sangat sulit sembuh. Lukanya sangat dalam dan lama pulihnya. “Itu bisa menghancurkan trust,” imbuhnya. 

 

“Dapat dipahami, untuk mengekspresikan apapun yang dapat membuat jiwa marah dan terluka, namun akan lebih membantu apabila 1) mencari dukungan dari orang terdekat agar bisa melewati proses tersebut. 2) Mencari bantuan profesional, baik untuk dirinya sendiri juga bagi anak-anak,” saran Evi, ibu 2 anak remaja. 

 

Prioritaskan kebutuhan anak

Menurut Evi, melepaskan kemarahan di media sosial kadangkala justru memberikan dampak yang lebih buruk pada anak-anak dan dirinya, ketika respon yang diterima dari orang-orang di jaringan sosial adalah respon yang tidak berpihak. 

 

“Satu hal  lagi yang harus dilakukan oleh ibu adalah, prioritaskan pada kebutuhan anak, dan sebisa mungkin membantu anak-anak untuk bersama-sama melewati masa perpisahan. Hindari exposure dari pemberitaan yang justru akan memperburuk kondisi. Lakukan kegiatan yang dapat menyemangati anak-anak,” papar Evi. 

 

Media butuh berita dan tidak bisa dikontrol. Ibu perlu melindungi diri dan keluarganya. “Alih-alih bacain berita, sebaiknya fokus pada apa yang menjadi kebutuhan anak dan bersama-sama melakukan hal yang saling menyemangati,” saran Evi. 

 

Kepada insan media, Evi berpesan agar mereka  memprioritaskan empati pada situasi yang jelas-jelas dapat mengorbankan kondisi psikis anak-anak. (IR)


Konsultan: Evi Sukmaningrum, Ph.D, Psikolog @sukmaningrum.evi

 



Artikel Rekomendasi