Kemarahan Anda, Merusak Otak Anak

 

Foto: freepik

Dampak pandemi Covid-19 salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga, termasuk anak-anak sebagai korban. Kekerasan, apa pun bentuknya, dapat merusak otak anak. Proses belajar terganggu, dan anak sulit fokus.
 
Jurnal Psychology Today memuat sebuah tulisan tentang dampak child abuse terhadap otak anak. Dalam jurnal itu diungkap, anak yang mengalami abuse – apapun bentuknya – lebih rentan stress, depresi, dan merasa cemas di usia dewasa. Kondisi kesehatan mental ini berkaitan dengan adanya perubahan seluler dan molekuler yang terdapat pada susunan otak.
 
Riset dari McGill University, Kanada, sudah mengidentifikasi bahwa anak yang mengalami abuse akan terjadi reaksi yang mengubah arsitektur dan fungsi bagian otak yang berhubungan dengan emosi dan suasana hati.
 
Child abuse juga berdampak pada menipisnya myelin – lapisan pada syaraf otak. Padahal myelin yang tebal berlapis-lapis akan mengoptimalkan kemampuan bagian otak yang berwarna putih, yaitu komunikasi yang efisien di area otak itu. Komunikasi yang efektif di area otak akan mendukung proses belajar yang baik pada anak.
 
Bagi para korban abusethe past is never dead. It’s not even past. Rasa sakit, takut, dan sedih masih terus terbawa. Kisah horor masa kecil, tetap membayangi, seperti kisah Marsha ini.
 
“Waktu saya berumur 5 tahun, mama  sering menghukum saya. Banyak idenya buat menghukum. Saya pernah dikunci di WC rusak di sudut halaman belakang rumah. Saya diserbu kecoa, rasanya ngeriiiii banget,” kisah Marsha yang sekarang sudah berusia dewasa awal.
 
Saat berusia balita Marsha memang tidak dipukul. Kali lain, ibunya menghukumnya dengan meletakkan piring di atas telapak tangannya di atas meja. Artinya ia tidak boleh bergerak sampai pada batas waktu yang ditentukan oleh sang ibu. “Kalau mama  lupa, ya bisa ditinggal tidur siang,” ungkapnya.
 
Mengapa ia sering dihukum? “Entah ya, saya tidak terlalu ingat. Apa saja bisa membuat mama marah, teriak-teriak, membentak. Susah memahami omongan ibu saya dalam kondisi seperti itu. Apa salah saya, nggak tahu,” katanya. Semakin bertambah usianya, hukumannya pun ‘disesuaikan’. Kalau nilai ulangannya buruk, hukumannya pun kian berat. Ayahnya membiarkan hal itu terjadi, karena menganggap bahwa itu adalah bagian dari pembentukan disiplin.
 
Douglas LaBier, Ph.D dalam tulisannya di Psychology Today menyatakan, kekerasan pada anak dapat merusak kesehatan fisik dan mentalnya di usia dewasa. Dampaknya tak pernah bisa diukur sedalam apa – di dalam hati dan pikiran anak-anak kita.
 
“Anak-anak yang mengalami abuse cenderung menyalahkan dirinya sendiri. Begitu merasa bersalahnya, ia ingin menekan berbagai kejadian buruk yang ia alami. Dalam psikologi ada fungsi repress, tubuh menyimpan sesuatu yang membuatnya merasa bersalah,” papar Evi Sukmaningrum, psikolog lulusan Universitas Padjadjaran, yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di bidang Public Health dari University of Illinois at Chicago, AS.
 
Bukan Soal Intensitas
Menurut Evi, dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, biasanya anak-anak dan orang dewasa yang memiliki pengalaman abuse memiliki dampak tidak hanya psikologis tetapi juga ke perkembangan fungsi otaknya.
 
Anak-anak yang pernah mengalami abuse maupun pengalaman yang traumatik biasanya lebih sensitif terhadap suatu kejadian tertentu. Salah satu (ada bagian otak lain yang terganggu) bagian yang terkena dampak adalah system limbik yang sering disebut dengan otak emosi - otak yang mengatur fungsi emosi. Sistem limbik inilah yang menentukan respons flight, fight, dan freeze yang menjadi bagian dari mekanisme bertahan.
 
Ketika seorang anak mengalami abuse maka sistem tersebut bekerja dengan lebih aktif; semakin kuat abuse yang dialami dan dihayati, maka semakin kuat pula sistem ini bekerja.
 
Ketika sistem ini bekerja, amigdala (yang menjadi bagian dari sistem limbik) akan memproses emosi sesuai dengan pesan yang sedang diterima. Kalau si anak sedang dipeluk atau sedang mendengarkan orang tuanya mengatakan hal-hal yang penuh dengan rasa cinta, maka pesan yang tersampaikan ke amigdala adalah emosi senang, gembira.
 
Namun, sebaliknya ketika si anak terus menerus dalam ‘state’ fight, flight atau freeze-sebagai bagian dari mekanisme pertahanan dirinya, maka amigdala akan menerima pesan ‘terancam’ atau bahaya.

Semua respons emosi yang terjadi akan merupakan sebuah ‘alarm’ yang memicu pelepasan hormon tertentu. Ketika respons emosi yang terjadi adalah emosi yang negatif, maka hormon stres -   kortisol -  lah yang akan dilepaskan.
 

 


Topic

#corona #coronavirus #viruscorona #covid19 #dirumahsaja #dirumahaja #belajardirumah #workfromhome



Artikel Rekomendasi