Menghadapi Anak Suka Membantah, Ada Seninya

 

Foto ilustrasi (Freepik)

Konflik merupakan hal yang tak dapat kita hindari. Sehari-sehari kita bisa berhadapan dengan konflik, baik yang ringan maupun yang berat, di luar rumah maupun di dalam rumah.

Salah satu konflik yang kerap dialami oleh orang tua di rumah adalah konflik dengan anak. Biasanya ini terjadi ketika anak sudah mulai punya kemauan sendiri atau saat mereka menginjak usia praremaja. 

Untuk mengedukasi Bunda dan Ayah tentang menghadapi dan menangani konflik dengan anak, Ayahbunda menggelar bincang-bincang dengan psikolog Hanlie Muliani, M.Psi., di Instagram Live @ayahbunda_ pada Rabu, 10 Juni 2020.

Pada sesi tersebut, hadir pula secara online seorang ibu bekerja Eva Mandey yang sharing tentang konfliknya dengan anak sulungnya. Menurut ibu tiga anak ini, si sulung Rafael yang berusia 10 tahun itu kerap membantah kata-katanya. Meski sebenarnya Eva mengakui terkadang Rafa bisa dianggap sebagai the little bestfriend dan sudah diajarkan untuk bertanggung jawab menjaga dua adiknya. 

Tetapi suatu hari, Eva kaget ketika Rafa mengatakan, "Mami kan cuma urus adik-adik, aja. Mami enggak perhatiin kakak," cerita Eva. Situasi ini, dianggap Eva sebagai sesuatu yang butuh penyelesaian dan dicari tahu mengapa dia berkata seperti itu. 



Apakah cerita Eva tersebut mewakili cerita Bunda dan Ayah? Ataukah ada kemiripan situasi konflik yang dihadapi Bunda dan Ayah dengan anak praremaja di rumah? 

Berdasarkan eksplorasi psikolog Hanlie, ia menangkap adanya  konflik yang sering dialami oleh anak sulung. Menurut Hanlie, anak-anak sulung itu kerap merasa 'lelah' karena kesulungannya, karena ia diharapkan selalu mengerti dan mengalah kepada adik-adiknya. Anak sulung juga dianggap harus bisa menjadi role model. "Itu adalah hal-hal yang kerap membuat anak sulung merasa 'tired'," kata Hanlie. 

Di samping itu, karena si sulung ini sudah memasuki usia praremaja, Hanlie menyampaikan beberapa tip untuk menangani konflik dengannya. Pertama, orang tua perlu memahami bahwa beda usia anak, beda pula cara orang tua berkomunikasi dan melakukan pendekatan. 

"Saya coba kasih tipnya. Yang pertama, hubungan kita dengan anak-anak yang lebih kecil, itu hubungan yang vertikal. Kalau saya mengibaratkan jam dinding itu angka dua belas ke angka enam. Tapi begitu dia sudah praremaja, relasi dia dengan orang tua sudah tidak bisa seperti angka enam dan angka dua belas, tetapi bergeser ke angka delapan dan angka dua. Nanti kalau anak sudah SMP, relasinya itu sudah angka sembilan dan angka tiga. Nanti kalau anak-anak sudah SMA, mereka ingin diperlakukan seperti orang dewasa. Jadi itu pertama yang perlu kita pahami," kata Hanlie.

 


Selanjutnya, tip yang kedua. Cara berkomunikasi harus diperhatikan. Hanlie menjelaskan bahwa dalam komunikasi itu memuat tiga unsur, yaitu kata-kata, intonasi, dan bahasa tubuh. "Nah, sering kali kita hanya memerhatikan kata-kata yang kita ucapkan, tapi lupa perhatikan ekspresi dan bahasa tubuh. Padahal kata-kata itu cuma tujuh persen, intonasi 38 persen, bahasa tubuh 55 persen," ujar Hanlie. 

Coba Bunda dan Ayah bayangkan, misalnya Anda sedang berbicara pada anak menggunakan kata-kata yang sama, tetapi dengan intonasi yang berbeda. Contoh: 
- "(berteriak) Pokoknya Mama enggak mau dengar lagi kamu ngomong gitu!!!" 

- "(tegas tapi lembut) Kamu jangan begitu, ya. Mama enggak mau dengar lagi." 

"Ini kan sama-sama menegur sebenarnya, tapi ketika anak ditegur dengan cara pertama dan ditegur dengan cara kedua, ini akan memberikan efek bagaimana anak berpikir dan merasakan yang berbeda. Bukan berarti ketika kita menegur dengan cara yang kedua, itu orang tua akan kehilangan wibawanya," ujar Hanlie.

"Mulai sekarang orang tua, ketika menegur anaknya, harus memperhatikan intonasi suara, bahasa tubuh, tidak hanya kata-katanya," tambahnya.

Tip yang ketiga, menyamakan model dunia. Ini mengacu pada konsep kenyamanan sebagai individu. Jadi, kita membuat anak merasa nyaman dengan kita, sehingga pesan yang kita katakan padanya bisa tersampaikan. 

"Apa sih yang paling bisa membuat kita itu nyaman ketika bersama orang lain meskipun baru kenal? Misalnya ketika kita bertemu dengan seseorang di suatu acara, baru lima menit berinteraksi tetapi rasanya sudah terkoneksi. Jawabannya adalah karena ada kesamaan," ujar Hanlie.

Menurut Hanlie, orang tua harus pintar-pintar mencari kesamaan, menyamakan model dunia kita dengan dunia anak. Tujuannya adalah supaya anak merasa dekat, terkoneksi, dan related dengan orang tua. Karena ketika anak sudah merasa dekat dan related, nanti apa pun yang disampaikan orang tuanya, kecenderungan anak untuk lebih bisa menerima itu lebih tinggi daripada ketika mereka belum merasa dekat. 

Menyamakan model dunia dengan anak banyak caranya. Misalnya jika anak masih kecil, kita menyamakan posisi tubuh saat berbicara, atau dengan menyesuaikan warna suara. Guru-guru TK itu contohnya. Mereka berbicara seperti gaya anak-anak karena untuk membuat murid-muridnya merasa dekat. 

Sedangkan untuk anak yang lebih besar seperti praremaja, bisa dengan membicarakan topik-topik yang disukai mereka. "Misalnya anak-anak suka BTS, K-Pop, ya kita cari tahu tentang mereka meski kita tidak suka," kata Hanlie. Jadi intinya adalah terkoneksi dulu dengan anak, tidak bisa langsung menyampaikan koreksi. 

Tip keempat yaitu dinamakan Hanlie sebagai tangki cinta. Cinta perlu dijaga dan dipelihara seperti tangki bensin mobil yang butuh diisi ulang. Begitu pula hubungan kasih sayang orang tua dan anak. 

"Ini skill yang lebih dalam lagi. Saya kasih metafora, ya. Orang tua punya yang namanya tangki cinta. Tangki cinta prinsipnya sama seperti tangki bensin di mobil, artinya harus di-maintain. Harus diisi, tidak cuma orang tua dan anak, tapi juga terhadap pasangan dan orang lain. Ini harus diingat, kalau anak tidak merasa dicintai, tidak merasa diperhatikan, tidak merasa dekat dengan orang tuanya, tangki cintanya bisa kering," ujar Hanlie. 

"Jika tangki cinta kering, segala pendisiplinan orang tua, mungkin tidak akan dianggap sebagai pendisiplinan, tapi justru dirasa sebagai hukuman, karena tangki cintanya tidak diisi. Contohnya begini. Orang tua tidak mengizinkan anak untuk main ke mal karena sedang terjadi pandemi Covid-19. Bagi anak yang merasa dekat dengan orang tua, ia akan mempersepsikan larangan itu sebagai wujud perhatian. 'Oh iya, karena Mama care sama aku, makanya aku dibatasin, Mama enggak mau aku kenapa-kenapa." Tetapi sebaliknya, bagi anak yang tidak dekat dengan orang tua, bisa jadi ia justru merasa: "Memang Mama enggak sayang sama aku, makanya aku mau ngapa-ngapain selalu dilarang".

Pada intinya parenting adalah tentang knowledge, skill, dan art. Orang tua perlu memiliki pengetahuan, keahlian, dan juga mengerti seninya berkomunikasi dengan anak dalam menjalankan tugas dan peran pengasuhan. Anda dapat menyaksikan tayangan video wawancara versi penuhnya di Instagram @ayahbunda_. 

ALI

  

 

 



Artikel Rekomendasi