Anak Begadang di Masa Pandemi, Dampaknya untuk Fisik dan Otak

 

Foto ilustrasi (Freepik)


Matahari belum lama menyapa Jakarta. Di langit, masih terlihat sisa-sisa semburat fajar yang pelan-pelan menghilang. Pertanda malam segera berganti siang. Jarum jam di salah satu rumah bercat putih di kawasan Lenteng Agung Jakarta menunjukkan pukul 6:20 pagi. Di dalamnya ada Shareen (2,5 tahun) yang masih lelap di atas kasur di kamarnya. 

Shareen tadi malam begadang. Bocah kecil itu terbangun sekitar jam 11, gara-gara mendengar suara ketukan keyboard laptop ibunya, Vania (38 tahun). Sampai menjelang tengah malam, Vania masih mengerjakan tugas dari kantornya yang memberlakukan sistem kerja dari rumah di masa pandemi Covid-19. 

"Kalau sudah bangun begitu, ya, dia pasti main atau nonton tivi. Matanya segar, sudah kayak enggak ngantuk lagi. Malah kadang-kadang dia minta makan," kata Vania. 

Diakui Vania, selama masa pandemi Covid-19 ini, jam tidur Shareen memang berubah. Meski Vania menidurkan Shareen sekitar jam 9-10 malam, Shareen biasanya akan terbangun tengah malam. Penyebab utamanya karena Shareen tidak didampingi Vania saat tidur dan bisa juga karena mendengar suara-suara Vania yang masih bekerja.

Periode karantina di rumah saja, telah membuat Vania menjalani peran ganda di tempat dan waktu yang bersamaan, yaitu pekerja sekaligus ibu tiga anak. Di pagi hari, Vania tak hanya harus mempersiapkan tugas-tugas kantor, tetapi juga mengondisikan dan mendampingi Kafka (13 tahun) dan Sheena (7 tahun) yang akan sekolah online. Ditambah lagi dengan pekerjaan rumahan seperti beres-beres rumah, dapur, menyiapkan makanan, dan lainnya. Rentetan tugas sehari-hari tersebut cukup menyita waktu, sehingga Vania masih harus menyelesaikan pekerjaan kantor sampai larut malam. 

"Makanya kalau Shareen bangunnya siang begini aku biarkan. Biasanya kan dia bangun jam 9, jadi paginya aku bisa mengerjakan hal-hal lain," tutur Vania. 

"Ya, meski sebenarnya aku tahu jam tidur itu penting buat anak. Kalau boleh jujur, sih, pola tidur Shareen yang kacau selama pandemi ini bikin aku cukup khawatir, jangan sampai anakku nanti enggak pintar gara-gara tidurnya enggak berkualitas," ujarnya.

 
Foto ilustrasi (Freepik)


Shareen bukan satu-satunya balita yang pola tidurnya berubah di masa pandemi Covid-19. Di kawasan Jakarta Barat, ada Lores (5 tahun) yang juga memulai tidur larut malam. Sama seperti Vania, Eny ibu Lores seorang karyawati, juga mengambil keuntungan dari kondisi tersebut.

"Aku pun enjoy dia bangun agak kesiangan, jadi paginya aku bisa beres-beres rumah atau dapur dulu sebelum dia bangun. Anakku tidur jam 12, bangun jam 9. Aku masih belum modifikasi jam tidurnya karena toh sekolah online-nya (sepekan 2 kali) juga baru dimulai jam 10," ujar Eny. 


Perubahan pola tidur anak
Pandemi Covid-19 tampaknya telah menggeser jam tidur anak-anak. Pola tidur mereka menjadi berubah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perubahan jadwal kerja orang tua yang sampai larut malam.

Pada akhir Juni 2020, ketika sekolah dari rumah baru sekitar tiga bulan dijalankan, Ayahbunda membuat survei sederhana melalui fitur Instagram Story. Isinya menanyakan kepada para orang tua terkait perubahan pola tidur pada anak sejak masa pandemi Covid-19. Hasilnya diperoleh sekitar 73 persen orang tua menyatakan bahwa anak-anak menjadi tidur lebih lambat. Sampai larut malam, anak-anak masih bermain dan belum mau tidur.

Perubahan pola tidur anak di masa pandemi Covid-19, juga menjadi perhatian Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Mereka membuat penelitian untuk mengetahui sejauh mana dampak pandemi terhadap perilaku anak sehari-hari. Perubahan perilaku ini termasuk pola makan, aktivitas fisik, dan pola tidur. Namun sayangnya, studi yang dilakukan sejak Oktober tersebut belum dapat dipublikasikan.

Meski begitu, jika Anda ingin memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai perubahan pola tidur anak di masa pandemi, beberapa dokter di luar negeri telah selesai dengan penelitiannya. Misalnya saja dalam laporan New York Times 17 Agustus 2020 lalu, penelitian kepada 1.619 anak-anak berusia 4, 5, dan 6 tahun di Zunyi, China (650 mil dari Wuhan) menemukan bahwa pandemi Covid-19 memang membawa perubahan terhadap pola tidur anak. Studi tersebut meminta orang tua untuk menyelesaikan kuesioner tentang bagaimana pola tidur anak selama Februari dimana mereka telah menjalani karantina di rumah.

 
Foto ilustrasi (Freepik)


Hasil studi menunjukkan kelompok anak dalam penelitian itu rata-rata tidur lebih malam 57 menit dan bangun 52 menit lebih siang. Peneliti berasumsi bahwa selama periode di rumah saja, anak-anak merasa sedang berada di 'hari libur' sebab tidak ada jadwal ke sekolah dan beban akademis yang berkurang.

Dr. Judith Owens, wakil direktur terapi tidur di Rumah Sakit Boston, dalam laporan NYT juga mengungkapkan, fenomena ini juga banyak terjadi pada anak-anak di Amerika Serikat, mereka begadang atau tidur lebih larut. Salah satu sebabnya, selain mengikuti perubahan pola kerja orang tua yang working from home, anak-anak selama masa di rumah saja menjadi kurang beraktivitas fisik di siang hari, sehingga pada malam harinya mereka masih memiliki banyak energi untuk melek. Tetapi dengan begitu, kuantitas tidur mereka menjadi lebih panjang dan mungkin juga lebih nyenyak.


Mengapa pola tidur penting bagi anak?
Ahli tumbuh kembang dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)., menjelaskan bahwa tidur memiliki kaitan yang sangat erat dengan pertumbuhan anak. Menurut Rini, hormon pertumbuhan (growth hormone) aktif saat anak tidur malam di sekitar jam 11-12 malam ketika tidur anak mencapai fase deep sleep atau tidur dalam. 

"Yang dinilai dari kualitas tidur sebenarnya adalah tidur malam. Tidur malam sangat penting diperhatikan. Karena pada malam hari, ada namanya hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan itu menyebabkan tinggi badan anak akan optimal. Kalau siang hari nggak ada hormon pertumbuhan jadi kalau siang hari itu tidak dinilai kualitas tidurnya. Yang terbaik adalah anak sudah tidur dari jam 8 atau 9 malam. Bahkan kalau usia 2 tahun itu harus tidur sepanjang malam, tidak terbangun-bangun pada malam hari," kata Prof. Rini kepada Ayahbunda.

"Hormon pertumbuhan itu keluarnya kira-kira jam 11-12 malam. Jadi kalau dia tidur jam 10 malam, sudah bisa kelewat. Karena hormon pertumbuhan keluar pada saat tidur yang dalam. Jadi anak-anak yang tidur malamnya bagus, rata-rata tinggi badannya baik. Jadi kita harus mengedukasi orang tua supaya pola tidur anak tetap sama walaupun pada masa pandemi. Enggak boleh berubah," ujar Prof. Rini. 

Selain itu, pola tidur anak juga ikut menentukan kesehatan mental dan kecerdasan otaknya. Psikolog anak dan keluarga Samantha Ananta, S.Psi, M.Psi., menerangkan bahwa selama tidur terdapat siklus yang berfungsi membersihkan otak dari racun dan kotoran. Siklus ini diulang secara terus-menerus.

 
Foto ilustrasi (Freepik)


"Selama tidur ada cairan pembersih otak yang disebut cairan serebrospinal yang mengalir ke seluruh penjuru otak yang berfungsi membersihkan racun dan kotoran di otak. Kemudian darah2 dapat masuk lagi ke otak, setelah dibersihkan oleh cairan serebrospinal. Siklus ini sangat diperlukan untuk menjaga kebersihan otak dan selalu diulang terus-menerus selama kita tidur," kata psikolog yang akrab disapa Sam ini kepada Ayahbunda. 

Sam menambahkan, jika anak kurang tidur dampaknya otak akan kekurangan darah. Akibatnya, aktivitas listrik di otak akan terhenti. "Padahal anak-anak sangat butuh ini untuk menyambungkan berbagai hal yang ia pelajari di siang hari," kata Sam. 

Selain itu, saat tidur otak juga memproduksi hormon melatonin secara alami yang berperan menjaga siklus pola tidur bangun (jam biologis tubuh). Idealnya tubuh menghasilkan melatonin alami ini saat tidur di sekitar waktu 23.00 - 03.00 dini hari dan akan berhenti ketika siang hari.

"Jika anak kekurangan tidur malam maka dapat berakibat pada kestabilan emosi, rentang atensi, motivasi belajar, perkembangan fisik, dan lebih rentan terhadap stres. Akibatnya anak jadi makin malas belajar, konsentrasi berkurang, kurang semangat sekolah, mudah ngantuk saat waktunya menyerap materi pembelajaran sekolah, mudah frustrasi, kurang kreatif, rentan pada tekanan, motivasi belajar menurun, prestasi belajar menurun, tingkat kecemasan meningkat, dan lain-lain," kata Sam. 

Sam juga mengamini bahwa fungsi tidur malam tidak dapat digantikan oleh tidur siang, karena terkait dengan aktivasi hormon melatonin. "Tidur siang tidak cukup menggantikan tidur malam mengingat melatonin berhenti sejenak berproduksi saat siang hari. Waktu terbaik kita tidur adalah pukul 22.00-03.00 dini hari sesuai dengan circadian rhythm manusia," pungkas psikolog yang aktif di Instagram @mantananta ini. 


ALI

 

 



Artikel Rekomendasi