Anak Sensitif Lebih Mudah Berempati

 

Foto: shutterstock

Mengasuh anak sensitif butuh trik tersendiri, karena mereka kerap bingung oleh banyak hal.
 
Suatu hari, anak laki-laki saya yang berumur 4 tahun marah-marah. Katanya, Oom Anto jahat, memanggilnya dengan ‘si mata burung hantu.’ Dia menangis sedih. Karena tidak ada hal serius yang harus dibahas, saya tertawa.  Saya tahu sebutan 'si mata burung hantu' itu sebutan sayang karena mata anak saya memang bulat besar. Ternyata sikap saya salah. Untuk anak saya, sebutan ‘si mata burung hantu’ itu bukan sebutan sayang untuk matanya yang besar dan lucu. Dia merasa diejek.
 
Anak sensitif mudah bingung dengan rangsang fisik dan emosi. Terlambat makan, diganggu kakaknya, bisa membuatnya berteriak dan berguling-guling.
 
Jadzia Jagiellowicz, Ph.D psikolog asal Kanada, pendiri highlysensitivesociety menyebut bahwa sebanyak 33 persen populasi manusia adalah orang yang sensitif. Artinya, mereka merasakan berbagai hal, dan mudah bingung oleh rangsang yang sifatnya fisik dan emosi.
 
Jagiellowicz melakukan penelitian dari sudut  ilmu saraf orang yang sensitif. Katanya, otak orang yang sensitif bereaksi terhadap stimulus lewat fisiknya seperti sakit perut dan sesak napas. Ini tidak dialami oleh orang yang tidak sensitif.
 
Ini tentu bukan kondisi yang  tidak normal. Laura Greenberg, psikoterapis dari Kanada mengatakan bahwa anak yang sensitif memiliki kesadaran diri yang tinggi, kemampuan empati yang baik, dan memiliki kreativitas. Ini trik mengasuh anak sensitif.
 
  • Lakukan validasi dan terhubung
Anak sensitif selalu merasa reaksi emosinya tidak dipahami dan ditolak oleh orang tua dan teman-temannya. Hal paling penting dan sangat bernilai untuk anak, menurut Greenberg adalah melakukan validasi dan terhubung dengan anak. “Kenakan sepatunya,” kata Greenberg.
 
Jangan memberi dia tantangan, misalnya “Apa yang membuat kamu merasa temanmu nggak suka sama kamu?” Bersikaplah empati dengan berkata, “Pasti sedih ya, kamu nggak diajak main sama temanmu.” Dengan cara ini Anda membantunya menenangkan diri, bertoleransi padanya dan membantunya segera mengatasi masalah.
 
Sampai anak sudah besar, Anda harus tetap bersikap demikian. Bila tidak, anak akan membuat strateginya sendiri untuk mengatasi masalah emosinya, demikian pendapat Greenberg.
 
  • Kenali dan namai perasaannya
Mengajarnya  mengenali dan menamai perasaannya akan membantu anak mengatur perasaannya yang naik turun. Ajarkan anak menyatakan perasaannya dengan kata-kata, kemudian berikan contoh cara mengekspresikan perasaannya dengan benar.
 
Saat anak Anda tidak mau makan sandwhichnya karena Anda membentuknya segitiga padahal dia  mau segiempat, katakan “Bunda tadi lihat lho, waktu bunda bikin segitiga, kamu kecewa lalu nggak ngomong lagi. Betul, kamu nggak suka sama bentuk ini?”
 
  • Persiapkan lebih dulu segala sesuatunya
Anak sensitif tumbuh dari rutinitas dan lebih senang bila segala sesuatu dia ketahui lebih dulu. Sebelum masuk playgroup misalnya, ajak anak ke sekolahannya untuk melihat kelasya dan berkenalan dengan gurunya. Kenalkan perubahan secara perlahan-lahan, saran Jagiellowicz.
 
Anak sensitif sering mengkhawatirkan apa yang orang pikirkan tentang dirinya, yang sering membuatnya diam beberapa saat. Persiapkan anak dengan bahasa untuk digunakan pada situasi yang berbeda. Buat skenarionya, lakukan bersama anak, libatkan benda-benda seperti menyobek-nyobek kertas, latihan napas panjang, atau meremas stress ball/squizy.
 
  • Buat batasan dan ruang yang aman
Anak sensitive banyak menyerap informasi dari lingkungan dan lebih reaktif, sebaiknya lakukan pencegahan. Misalnya saat Anda ingin menggiling biji kopi, lakukan jauh dari anak atau minta pengasuhnya mengajak anak menjauh karena suara mesin blender bisa sangat mengganggunya.
 
Untuk anak yang lebih besar, hindari mengajaknya beraktivitas berat secara berturut-turut. Misalnya setelah latihan berenang, Anda mengajaknya ke pesta ulang tahun. Dua hal  ini menguras banyak energi. Ciptakan ruang yang nyaman – misalnya kamaranya – untuk escape dari hiruk pikuk dunia luar.
 
  • Terapkan disiplin yang tidak kaku
Anak sensitif punya kesadaran yang kuat soal atauran dan moralitas. Dia akan selalu mempertanyakan soal keadilan. “Kenapa Sally nggak menepati janjinya, Bunda?” “Kenapa kakak bohong sih?” “Bunda, itu  nggak adil!”
 
Terapkan disiplin dengan lembut karena pada dasarnya dia sudah sering mengkritik dirinya sendiri. “Nggak boleh pakai i-pad dulu sampai tugas kamu selesai ya…” ini lebih baik daripada mengatakan, “I-padnya nggak bunda kasih, soalnya kamu nggak baik.”
 
Jagiellowicz mengatakan, anak yang sensitif memiliki memori emosi sangat dalam. Sesuatu yang memalukan adalah racun. Ia memberi contoh bagaimana kliennya selalu mengingat hal-hal di masa kecil mereka, dan ingatan negatif sangat memengaruhi mereka.
 
Orang tua harus menggunakan feelingnya, menangkap bahwa anak-anaknya sangat sulit mengatasi perasaan buruknya. Sadari hal itu bahwa anak Anda adalah anak yang sensitif.
 
Imma Rachmani

 

 



Artikel Rekomendasi