Konflik Batin yang Sering Dialami Anak Sulung

 



Kita sering mendengar anggapan bahwa anak sulung itu tanggung jawabnya besar, karena ia harus menjadi contoh bagi adiknya. Anak sulung juga tidak boleh manja, sebab ia harus menjaga adiknya. 

Dalam budaya kita, anggapan semacam itu sudah sering memperoleh pembenaran. Maka secara tidak sadar, kita sebagai orang tua pun, terkadang memperlakukan atau menuntut si sulung untuk berperilaku sesuai dengan anggapan tersebut. Dengan kata lain, anggapan umum itulah yang kita harapkan ada pada anak. 

Namun sayangnya, itu adalah perspektif dari satu sisi, yakni dari sudut pandang orang tua. Sebaliknya, pernahkah kita mencoba memahami si sulung dan menempatkan diri pada posisinya? Apakah yang ia rasakan dengan tuntutan dari lingkungan sosialnya mengenai statusnya sebagai  saudara tertua? Jangan-jangan dia merasakan sesuatu yang memerlukan bantuan kita untuk mendalami perannya itu. 

Seorang ibu tiga anak, Eva Mandey bercerita di sesi Instagram Live @ayahbunda_, Rabu, 10 Juni 2020. Menurut Eva, pernah suatu hari anak tertuanya yang sudah berusia praremaja (10 tahun) dalam sebuah perdebatan kecil antara ibu dan anak, tiba-tiba nyeletuk, "Iya, mami kan apa-apa selalu adik, mami enggak pernah perhatian sama aku."

Dari sinilah Eva kemudian berpikir, kalau anak sulungnya bisa berpikir demikian, berarti ada 'sesuatu' yang tidak pas baginya. Selama ini di keluarga EVa, anak pertamanya memang sudah diajarkan untuk menjaga dan bertanggung jawab kepada adik-adiknya.

Menurut psikolog anak remaja dan pendidikan, Hanlie Muliani, memang ada beberapa konflik yang sering dialami anak sulung. Terkadang anak sulung bisa merasa lelah karena selalu harus mengalah pada adik-adiknya.

Baca juga: Menghadapi Anak Suka Membantah, Ada Seninya

"Anak sulung itu suka merasa tired, karena kesulungannya. Ketika misalnya ada konflik dengan adik-adiknya, mereka selalu diminta untuk mengerti. Karena paling ngerti, paling besar, jadi harus mengalah," kata Hanlie yang juga konsultan masalah bullying ini. 

"Selain itu, anak sulung juga dituntut untuk menjadi role model, karena dia kakak. Itu adalah hal-hal yang sering kali membuat anak sulung merasa tired, kesal, dengan kondisi-kondisi tersebut," sambungnya.

Cara orang tua memperlakukan kakak-beradik juga berpengaruh terhadap psikologisnya. Misalnya seperti yang dicontohkan di keluarga Eva, anak bungsu dipanggil dengan sebutan 'Princess' karena satu-satunya saudara perempuan di antara dua kakaknya yang laki-laki. 

Hanlie menyoroti hal ini, dan menyarankan sebaiknya adik bungsu itu dipanggil nama saja. Karena efeknya bisa membuat si bungsu merasa bahwa setiap orang harus mengistimewakannya, yang dapat membuat kesenjangan secara psikologis di antara kakak-beradik. 

"Kalau saya boleh menyarankan, lebih baik dipanggil nama. Karena bagi si bungsu pun ketika dia dipanggil 'princess', nanti ada persepsi atau dia merasa 'wah, aku princess, nih'. Jadi ada efek-efek psikologis dari memberikan nama itu. Itu saran dari saya," kata Hanlie. 

Anda dapat menyaksikan bincang-bincang selengkapnya di Instagram @ayahbunda_. 

Baca juga: Kenapa Anak Praremaja Doyan Membantah dan Sulit Diatur?

ALI



 

 



Artikel Rekomendasi