Menjadi Isteri "Alpha Wife"

 

Sedang tren, istri berkarier sampai puncak dan suami mengalah tinggal di rumah. Muncul istilah alpha wife, untuk menyebut para istri yang sukses berkarier, atau memiliki jabatan tinggi serta penghasilan besar, sehingga ia menjadi breadwinner -pencari nafkah utama- di keluarganya.

Di Indonesia, belum menjadi fenomena. Meski dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin mengenal satu-dua orang alpha wife. Ida Ruwaidah, sosiolog dari Universitas Indonesia, menyebutkan, di Indonesia memang terjadi perubahan signifikan antara istri bekerja pada masa lalu dengan sekarang. Perbedaan itu, katanya, menyangkut bidang kerja dan pemanfaatan penghasilan istri.

Jika dulu uang istri digunakan sebagai complementer atau pelengkap kebutuhan rumah tangga. Misalnya untuk membeli bumbu atau rekreasi. Tetapi kini, karena masyarakat berubah dan menjadikan keluarga sebagai unit konsumsi  - di mana tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi meningkat -  gaji istri turut dialokasikan untuk kebutuhan pokok seperti cicilan rumah, pendidikan anak dan kendaraan pribadi. "Mungkin karena, sekarang ini bila hanya mengandalkan penghasilan suami, tidak cukup,'' terang Ida.

Meski data statistik menunjukkan secara nasional tingkat pendapatan perempuan Indonesia 50% masih lebih rendah dibanding laki-laki, namun wanita di Indonesia mulai mendapat kesempatan lebih besar untuk meraih gaji tinggi dan menduduki puncak karier, berkat terbukanya akses pendidikan.

Perkawinan Sang Alpha Bagi alpha wives, bukan hanya tuntutan pekerjaan yang membuat hidup mereka semakin tertantang. Mereka juga ditantang oleh sorotan masyarakat. Selain sukses dalam pekerjaan, apakah mereka juga sukses dalam berumah tangga? Apakah anak-anaknya diasuh dengan baik? Apakah suaminya tetap mendapat perhatian?

Ida menyebutkan, masyarakat modern sekali pun belum bergeming dari tuntutan ini: sesukses apa pun seorang wanita dalam pekerjaannya, jika ia tidak bisa mengurus keluarga, maka semuanya adalah nol besar. Norma dan nilai yang berlaku di masyarakat memang masih kuat menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pencari nafkah penunjang. Meski saat ini sudah muncul para ayah yang secara sukarela memilih menjadi bapak rumah tangga atau stay-at-home-dad, menurutnya, bentuk keluarga seperti itu dianggap tidak ideal oleh masyarakat.

Suami Alpha Wives. Profesor sosiologi dari Universitas Carleton di Ottawa, Kanada, Andrea Doucet,  berdasarkan risetnya mengungkap, suami para alpha wife pun mengalami tekanan sosial, bahkan lebih berat dari istri. Karena, mereka harus berjuang melawan pengharapan sosial di mana suami diminta untuk menjadi pencari nafkah utama. Para suami tersebut juga mengalami konflik pribadi di mana ia sulit menerima kenyataan bahwa istrinya memiliki pendapatan lebih besar.

Joshua Coleman, psikolog dan penulis buku “The Lazy Husband: How to Get Men to Do More Parenting dan Housework” menulis, suami para alpha wife mengalami sindroma kehilangan kekuatan. Mereka merasa gagal menjadi suami yang baik, karena tidak menghasilkan cukup uang. Para suami tersebut paham, istri mereka mendambakan pasangan yang komunikatif, berempati dan terampil melakukan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Tapi pada saat yang sama, kaum Adam juga bertanya-tanya, kebanggaan apa yang bisa mereka dapat dari melakukan tugas-tugas domestik?

Meski fenomena alpha wife adalah format keluarga baru yang bisa dijadikan alternatif, menurut Joshua, gaya hidup baru ini tidak mudah diterima masyarakat karena bersinggungan dengan nilai-nilai yang terbentuk di masyarakat sejak berabad-abad lalu. "Karena, hal itu seperti mengubah gender atau pembedaan peran laki-laki dan perempuan yang selama ini diyakini,” kata Andrea, yang risetnya meneliti sejumlah pasangan alpha wife di AS.     

Pendapat menyegarkan datang dari Dra. Augustine Sukarian Basri, MSi, Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Augustine mengatakan,  fenomena alpha wife sebenarnya tidak semata-mata ingin membalik peran suami dengan istri. "Mari kita luruskan pembagian peran yang ‘menjebak’ itu. Bekerja atau tidak bekerja di luar rumah, suami dan istri sebenarnya harus bersama-sama terlibat dalam urusan rumah tangga dan anak. Dulu, sewaktu suami menjadi breadwinner pun, ia harus terlibat mengasuh anak. Karena, diyakini di dunia psikologi perkembangan, anak yang tidak mendapat perhatian dari salah satu orangtuanya, akan mengalami masalah dalam hubungan,” papar Augustine.

Augustine menegaskan, wanita alpha wife sebenarnya tidak berarti berhak mendominasi suami dan rumah tangga. “Masalahnya, di kepala kita selama ini sudah tertanam, bahwa kalau orang itu breadwinner, maka dia jadi lebih berkuasa. Padahal tidak demikian,” ujarnya.

Profesor sosiologi dari Universitas Kent, Inggris, Lynn Prince Cooke, memperkuat pernyataan Augustine dengan hasil penelitiannya terhadap pasangan-pasangan di AS. Berdasarkan penelitian Lynn, angka perceraian suami isteri yang berbagi pekerjaan dan tanggung jawab rumah tangga, lebih rendah ketimbang angka perceraian pasangan di mana suaminya adalah breadwinner.

Baca:
Tips Menjadi Keluarga Alpha
    




 



Artikel Rekomendasi