War Toys, Tak Selalu Memicu Kekerasan

 

Berbagai tindak kekerasan dan kecenderungan anak-anak masa kini berperilaku kasar ditengarai banyak ahli berasal dari berkembangnya mainan perang-perangan. Atau diistilahkan wartoys dalam bahasa Inggris atau Kriegspiel dalam bahasa Jerman. Sebagian ahli sependapat, tetapi tak sedikit yang menentang pendapat ini.

Dua pendapat. Ketika orang tua masa kini sedang gencar menekankan pentingnya sikap anti kekerasan pada balita dan pandangan cinta damai, berbagai hiburan di televisi dan perusahaan mainan justru memproduksi film sarat adegan saling menyerang dengan senjata, serta senjata mainan.
 
Banyak orang tua dibuat pusing oleh keberadaan mainan semacam ini yang ternyata digandrungi anak-anak, baik balita maupun balita, tak hanya anak laki-laki, bahkan juga anak perempuan. Sebagian besar ahli berpendapat, wartoys berdampak buruk bagi perkembangan anak. Anak jadi terbiasa menyerang tanpa merasa bersalah. Dan, bisa dipastikan orang terdekatlah yang menjadi korban utama, adik, kakak, pengasuh atau teman mainnya.

Namun demikian, tak sedikit juga ahli psikologi anak berpendapat berbeda. Dr. Hans-Peter Nolting, pendidik dan psikolog anak pada Universität Göttingen termasuk yang berpendapat lain. Menurutnya, di balik senjata mainan ada sebuah kemampuan untuk ‘membersihkan’ atau ‘mensucikan’ kepala anak, untuk justru berlaku sebaliknya, tidak menyerang dan berperilaku agresif.
 
“Permainan perang-perangan atau saling tembak, agresi dalam bentuk permainan, berdasarkan hipotesa Katarsis justru menghindarkan anak dari kekerasan realistis, “ demikian jelas Dr. Nolting.

Tak bersikap kaku. Silang pendapat tentang mainan semacam ini terus terjadi. Tak hanya di Indonesia, di Jerman saja belum ada kesatuan pendapat tentang definisi wartoys serta dampaknya bagi perkembangan anak.
 
Hingga saat ini akhirnya, orang tua di Jerman terbagi dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang setuju untuk melarang anak bermain dengan senjata mainan, bermain polisi-polisian dan perang-perangan. Kelompok kedua adalah orang tua yang bersikap lebih fleksibel, tetapi dengan tetap mengarahkan anak.

Kalau ditinjau, sebenarnya pendapat Dr. Nolting ada benarnya juga. Bagaimana pun orang tua melarang balita melakukan permainan menggunakan senjata, ada saja akal balita. Tak dibelikan pistol atau pedang mainan, ia memutar otak dengan merubah gulungan karton yang ditemukannya menjadi senjata ala kadarnya.
 
“Permainan pura-pura seperti koboi-indian, polisi-penjahat atau perang-perangan sebenarnya menyelipkan latihan ketrampilan menyelesaikan masalah. Melalui ‘bentrok’, kompromi dan kesepakatan, anak-anak belajar analogi kehidupan sebenarnya,” ungkap Dr. Nolting.

Menurutnya, apabila orang tua tak mau stres dengan hanya mengurusi pemilihan mainan dan jenis permainan anak, maka ia menyarankan orang tua lebih rileks. Membiarkan tetapi tetap dengan pengarahan. Artinya, ketika balita diberi kepercayaan untuk membeli senjata mainan, ia sekaligus harus bisa memegang janjinya untuk tidak menggunakannya kepada manusia maupun hewan. Setiap anak memang memiliki pembawaan berbeda, sehingga Dr. Nolting menyadari bahwa ada beberapa anak yang cenderung berperilaku kasar sehingga tak disarankan bermain menggunakan wartoys.

Tetapi pada dasarnya, ”Senjata mainan sebenarnya tak perlu menjadi topik pembahasan besar dalam pendidikan anak. Yang penting adalah memperlihatkan dampak dari todongan senjata atau agresi terhadap orang lain.

Bangun empati, perlihatkan rasa takut dan kekhawatiran para korban perang di televisi merupakan dampak buruk kekerasan dan senjata sungguhan”. Sudah begitu, tak perlu banyak melarang, anak-anak yang sehat dan cerdas akan menghindari kekerasan, baik dalam bentuk permainan, apalagi dalam kenyataan.

 



Artikel Rekomendasi

post4

Si Dua Tahun: Mengenal Warna

Cara belajar si dua tahun semakin matang. Tak hanya mengandalkan penyerapan inderawi, si dua tahun juga melibatkan proses mental. Termasuk dalam mengenal warna-warni.... read more