Balita Belajar Tentang Keadilan

 

Foto: shutterstock


Coba hitung, berapa kali sehari anak berteriak “Bunda nggak adil!” Apalagi selama masa pandemi. Ketika anak banyak dilarang, teriakan menuntut keadilan lebih sering digaungkan. 

 

Tidak boleh ke mal, marah. Tidak boleh kelamaan main game, marah. Katanya Bunda tidak adil. Semua dilarang. Apakah itu yang dipahami oleh anak soal keadilan?

 

Mari simak obrolan  Jonah dalam sebuah video youtube yang belajar tentang keadilan bersama gurunya, Naomi, di Circle Time with Khan Academy Kids.

 

“Jonah, kalau kamu sedang sangat lapar sehabis bermain, lalu ibu memberi adikmu kue, sementara kamu tidak diberi kue. Bagaimana menurutmu?” Tanya Naomi.

“Itu namanya tidak adil.” Jawab Jonah.

“Mengapa tidak adil?” Tanya Naomi.

“Karena aku lapar, tapi yang dikasih kue hanya adikku,” Jawab Jonah yang berusia 5 tahun.

“Kalau yang diberi kue hanya kamu, sementara adikmu tidak diberi kue?” Kejar Naomi lagi.

“Itu namanya tidak adil. Harusnya kami berdua sama-sama mendapat kue, karena kami berdua lapar,” jawab Jonah. 

 

Singkatnya dari video itu akhirnya Jonah bisa menyimpulkan bahwa keadilan adalah soal kesamaan hak. Keadilan adalah soal memerhatikan kebutuhan orang lain. Dengan kata lain, empati menjadi dasar terbentuknya sikap adil. 

 

Umumnya anak-anak menemukan keadilan lewat bermain. Kakak yang ingin menguasai permainan dan nggak ingin bergantian, akan berhadapan dengan gerutu adik yang selalu berkata, “ini nggak adil! Kakak terus yang main ayunan. Kakak sudah 4 kali aku baru 2 kali.”

 

Anak usia balita sudah paham konsep keadilan. Penelitian menyebut, anak usia balita tidak menyukai situasi yang tidak adil. Elizabeth Tricomi, Ph.D, asisten dosen psikologi dari Rutgers University menyebut, kesadaran adanya ketidakadilan ada peran serotonin, kimiawi otak yang menimbulkan perasaan senang yang menyebabkan anak-anak merasa tidak nyaman ketika berada dalam situasi tidak adil. Meski tidak menyukai ketidakadilan, anak belum memahami cara merespon ketidakadilan. 

 

Anak-anak yang mengalami situasi ketidakadilan cenderung memilih mengadu kepada orang tuanya, orang dewasa yang diharapkan dapat membantu memberinya keadilan. 

 

Bermain dan berkompetisi

Alzena Masykouri, M.Psi  psikolog dari Bestariku Pusat Edukasi Anak dan Keluarga, anak sudah mulai memahami peristiwa yang terjadi di sekitarnya sejak berusia 3 tahun. Mereka mengamati apa yang terjadi dan bagaimana dampaknya pada diri mereka. 

 

Anak usia 3 tahun juga mulai dapat mengikuti aturan sederhana, seperti mengantre, bergantian, dan berkompetisi. Ada pun perkara adil dan tidak adil (fair  play) sangat erat kaitannya dengan kompetisi. Memang baru di usia 3 tahun inilah anak mulai dapat memahami makna kompetisi; kemenangan dikatikan dengan rasa senang atau nyaman, sedangkan kalah dianggap sebagai rasa tidak enak. Karena itu wajar jika kemudian anak menjadi sangat sensitif untuk urusan menang-kalah atau adil-tidak adil. 

 

Menginjak usia 3 tahun anak sudah mulai bersosialisasi dengan teman sebaya. Dunia bermainnya semakin luas. Sejak itu ia mulai bersentuhan dengn isu fair play. Anak akan mengalami konflik ketika mainannya direbut, atau ketika dia tidak mau bergantian main ayunan dengan anak lain yang sedang mengantre. 

 

Bahkan soal menara balok siapa paling tinggi pun bisa jadi isu sensistif bagi anak usia 3 tahun. Di sinilah tugas orang tua untuk memperkenalkan konsep fair play. Dan menurut Alzena yang terlebih dulu harus diperkenalkan oleh orang tua dan orang dewasa lain di sekitar anak adalah konsep atau senangnya bermain. “Jangan tekankan keinginan untuk menang karena ada anak yang senang dan menekankan pada soal menang dengan merebut mainan anak lain - daripada sisi senangnya bermain,” papar Alzena.

 

Sebagai orang dewasa, orang tua sebaiknya bersikap santai dan tidak usah terlalu heboh menerapkan konsep fair. Lebih baik tekankan pada konsep fun saat bermain. Jadi anak akan mengerti bahwa bersenang-senang saat bermain jauh lebih penting daripada konflik. “Terkadang respon orang tua yang membuat anak menjadi sensitif dengan masalah adil-tidak adil. Sering kita melihat orang tua yang bereaksi luar biasa heboh ketika anaknya menang, dan menggerutu panjang lebar ketika anak kalah. Nah, reaksi orang tua ini akan dengan mudah diserap oleh anak,” kata Alzena.

 

Ketika fair play jadi masalah

Meski konsep fair play sudah diajarkan, ada kalanya tetap terjadi konflik ketika anak bermain bersama teman. 

 

Alzena mengatakan, ketika anak berada pada situasi yang tidak fair, beri kesempatan untuk menyelesaikan konfliknya secara mandiri. Orang tua cukup menjadi pengamat. Selama anak bisa mengatasi masalahnya dengan baik, tidak membahayakan atau melukai orang lain, berarti situasinya aman. “Anda boleh bernapas lega. Setelahnya barulah Anda bisa mengajak anak bicara soal apa yang dia rasakan ketika terjadi situasi tidak fair tersebut,” ujar Alzena

 

Reaksi anak menghadapi situasi tidak fair play tidak selalu sama. Ada anak yang kalau mainannya direbut akan merebutnya lagi, adaya tidak berani merebut tetapi menangis atau bermain denan mainan lain. Dengan menjadi pengamat, Anda akan tahu seperti apakah reaksi anak Anda ketika berada dalam situasi konflik. Jika dia mampu bereaksi merebut mainannya, Anda boleh bangga dan berharap dia akan tumbuh menjadi anak yang mampu memberla diri. Tidak berhenti sampai di sini. Anda harus menelaah lagi apakah proses merebut kembali haknya ini dilakukan dengan cara yang baik atau tidak.

 

Anak yang mampu memberla diri sendiri, ketika mainannya direbut dia akan berteriak “Ini punya saya!” Saat ini Anda dapat mengajarinya bebicara sopan tapi tegas ketika berusaha mempertahankan barangnya. Bukan sekadar merebut kembali, yang justru akan menciptakan konflik lebih panjang.

 

Jika anak Anda tipe pendiam ketika barang miliknya direbut, kemungkinan dia belum memiliki konsep kepemilikan atau rasa memiliki barangnya sendiri. Atau kemungkinan lain dia malu atau terlalu takut untuk mengekspresikan ketidaksetujuannya. Anak perlu dibantu untuk belajar mengungkapkan apa yang dia inginkan dan menunjukkan bahwa barang atau mainan tersebut adalah miliknya. 

 

Kenalkan konsep fair play dengan cara ini

1. Mulai dengan antre di usia 3 tahun. Mengantre dan bergantian diajarkan di usia 3 tahun, semakin besar anak ia harus mampu mempertimbangkan, bukan hanya hitam-putih. Anak akan belajar melalui kegiatan sehari-hari bahwa konsep adil menyesuaikan dengan kebutuhan, dan tidak harus sama pada semua kasus meski ada tetap ada aturan yang harus diterapkan secara konsisten.


2. Perkenalkan berbagai jenis mainan seperti board game, olah raga dan kompetisi. Anak akan mengenal berbagai situasi berbeda yang memperkaya pengalaman.


3. Bermain bersama teman termasuk dengan anak-anak yang usianya lebih muda agar anak belajar kepemimpinan dan belajar sabar terhadap anak yang lebih muda.


4. Perkenalkan aturan yang berlaku umum seperti mengantre, sopan pada semua orang.


5. Belajar berempati, karena dengan berempati anak tahu sudut pandang dan kebutuhan orang lain. 


Baca: Balita Menuntut Keadilan

 



Artikel Rekomendasi